Parapat - Bencana banjir dan longsor yang menerjang Pulau Sumatra, khusunya Tapanuli Raya, menjadi sorotan semua pihak, termasuk Presiden dan DPR RI.
Sejumlah perusahaan yang dinilai berkontribusi merusak lingkungan, konon dengan `lautan` kayu gelondongan di material banjir, mencoba melakukan upaya bersihkan diri.
Termasuk PT Toba Pulp Lestari atau TPL, yang dalam beberapa bulan terakhir diterpa wacana tutup, menyusul gerakan massa di Kantor Gubernur Sumut pada 10 November 2025 lalu.
"TPL terus berupaya mengelak dari tanggung jawab," kata Direktur KSPPM Roki Suriadi Pasaribu dalam siaran pers Jumat, 5 Desember 2025.
Roki menilai, sikap defensif TPL tampak jelas dalam berbagai klarifikasi perusahaan melalui pemberitaan media.
Laporan terbaru , TPL menyatakan bahwa dari total areal konsesinya seluas 167.912 hektare, hanya menanami sekitar 46.000 hektare dengan eucalyptus. Sisanya diklaim sebagai kawasan lindung dan konservasi.
Roki menarik garis ke belakang, untuk menelaah lebih jauh hubungan antara TPL dengan rangkaian bencana ekologis yang melanda Sumatera Utara.
Konflik TPL dengan masyarakat di sekitar konseinya bukan persoalan baru. Sejak bernama PT Inti Indorayon Utama (IIU), perusahaan ini telah mendapat penolakan kuat dari berbagai komunitas yang hidup di dalam dan sekitar wilayah konsesi.
Patut dicatat, TPL telah memperoleh sejumlah perubahan izin konsesi. Hingga tahun 2020, izin operasionalnya mengalami sembilan kali adendum.
Luas konsesi melonjak hingga 269.060 hektare pada tahun 1992, kemudian menyusut menjadi 113.340 hektare pada tahun 2005, sebelum kembali berubah menjadi 167.912 hektare berdasarkan izin tahun 2020.
TPL memiliki konsesi di 12 kabupaten/kota di Sumatera Utara.
Lokasi bencana ekologis yang terjadi pada 25 November 2025, berada di enam kabupaten yang terdampak banjir dan longsor, memiliki irisan langsung dengan wilayah konsesi TPL.
Wilayah dimaksud, yakni Pakpak Bharat, Taput, Tapsel, Tapteng, Humbahas, dan Padang Sidempuan.
"Data ini menunjukkan adanya korelasi spasial yang patut diselidiki lebih jauh, terutama menyangkut perubahan tutupan hutan, ekspansi tanaman eucalyptus, dan dampaknya terhadap daya dukung lingkungan," jelas dia.
Keberadaan konsesi TPL sejak awal juga menyimpan persoalan hukum yang serius. Sejumlah temuan mengungkap bahwa sebagian izin perusahaan tumpang tindih dengan kawasan hutan lindung dan areal penggunaan lain (APL).
KSPPM bersama sejumlah organisasi dalam koalisi masyarakat sipil telah melaporkan hal ini kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan—bahkan sejak sebelum kementerian tersebut berubah nomenklatur menjadi Kementerian Kehutanan.
Laporan tersebut menegaskan bahwa TPL melakukan pelanggaran izin karena setidaknya 33.266 hektare dari wilayah konsesinya berada di dalam kawasan hutan lindung dan APL.
"Secara hukum, pelanggaran ini seharusnya memicu peninjauan ulang izin, penegakan hukum, dan pemulihan kawasan. Namun hingga hari ini pemerintah tidak mengambil langkah berarti untuk menghentikan atau mengoreksi praktik tersebut. Alih-alih menjalankan mandat pengawasan, pemerintah justru membiarkan konsesi ini berjalan apa adanya," terangnya.
Menurut Roki, meski TPL mengetahui bahwa sebagian izin mereka berada di kawasan terlarang tersebut, tetap bertindak seolah-olah tidak menyadari pelanggaran yang ada.
"Aktivitas penanaman eucalyptus terus dilakukan tanpa koreksi apapun. Data terbaru mencatat bahwa setidaknya 3.660 hektar kawasan hutan lindung telah mereka tanami eucalyptus. Area terluas berada di Sektor Tele, yakni sekitar 3.305 hektare, yang secara berkala ditanami dan ditebang padahal kawasan ini berfungsi sebagai daerah penyangga Danau Toba. Selain itu, perusahaan juga melakukan penanaman di kawasan APL seluas 2.359 hektare," ungkapnya.
Lebih jauh kata dia, pelanggaran yang dilakukan perusahaan ini tidak hanya terbatas pada tata kelola hutan yang buruk.
Dengan sengaja, TPL juga melakukan penanaman eucalyptus di luar izin resmi yang mereka miliki, termasuk di dalam kawasan hutan lindung dan areal penggunaan lain (APL).
Setidaknya terdapat 1.720 hektare tanaman eucalyptus di luar izin resmi yang berada di dalam kawasan hutan lindung.
Secara keseluruhan, berdasarkan data Mapbiomas Indonesia, pada akhir tahun 2024 tutupan lahan dalam konsesi PT TPL terdiri atas kebun kayu (eucalyptus) seluas 30.850 hektare dan tutupan non-hutan seluas 13.655 hektare (areal panen dan tanaman baru yang belum terbaca sebagai tutupan eucalyptus).
Selain itu, terdapat pula tutupan pertanian lainnya seluas 55.898 hektare. Selain membangun kebun kayu di dalam konsesi PBPH (Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan), TPL juga memiliki kebun eucalyptus di wilayah APL (Areal Peruntukan Lain) melalui metode kemitraan yang mereka sebut Kebun Kayu Rakyat atau lebih dikenal dengan PKR.
Disebutnya kemudian, untuk mengurangi konflik dengan masyarakat adat, TPL mulai mempraktikkan skema PKR, yaitu kerja sama langsung dengan masyarakat untuk menanami eucalyptus berdasarkan perjanjian tertentu.
"Skema ini dianggap dapat menghindari konflik, khususnya konflik agraria. Namun dalam praktiknya, skema ini justru menimbulkan persoalan serius dalam aspek lingkungan karena berkontribusi pada percepatan deforestasi hutan alam di Tano Batak," ujar Roki.
Roki menyebut, skema PKR di luar konsesi tidak hanya memicu pembukaan hutan, tetapi juga merusak koridor satwa dan menyebabkan pembabatan hutan alam, terutama di wilayah Tapanuli Selatan.
"Dengan dalih PKR dan status areal sebagai APL, TPL melakukan penebangan hutan alam dan menggantinya dengan tanaman monokultur. Sepintas praktik ini tampak tidak bermasalah karena adanya kesepakatan dengan masyarakat, namun pada kenyataannya justru memicu kerusakan ekologis yang serius. Praktik yang dilakukan oleh TPL semacam ini sudah berlangsung lama," tandas dia.
Rangkaian Bencana
Roki menyebut, bencana ekologis November 2025, bukanlah kejadian pertama.
Peristiwa serupa telah berulang. Pada tahun 2023, terjadi tragedi bencana ekologi di Sihotang, Kabupaten Samosir yang mengakibatkan satu orang meninggal.
Pada tahun yang sama, bencana di Simangulampe, Kabupaten Humbahas, menewaskan 12 orang.
Meskipun wilayah tersebut bukan bagian dari konsesi, temuan pohon eucalyptus di lokasi menunjukkan adanya jejak aktivitas industri kehutanan.
Peristiwa terakhir di Parapat, Kabupaten Simalungun pada tahun 2025. Banjir dengan material batuan yang terbawa dari bukit.
Walaupun tidak menimbulkan korban jiwa, bencana yang terjadi di Parapat pada Maret 2025 lalu merupakan yang terparah sebelum tragedi saat ini.
"Dari sekian peristiwa bencana yang telah terjadi, tragedi kali ini adalah yang paling parah, karena menyebabkan ratusan korban jiwa dan berdampak pada beberapa kabupaten serta puluhan hingga ratusan desa. Karena itu, TPL tidak dapat mengelak dari keterlibatannya dalam bencana yang sedang berlangsung," tukas Roki.
Selain pembukaan lahan baru, praktik pemanenan eucalyptus setiap 4–5 tahun yang dilakukan TPL memicu terbentuknya lahan terbuka yang meningkatkan kerentanan terhadap bencana ekologis.
TPL juga mengelola kawasan berstatus hutan lindung, namun tetap menanami dan menebang eucalyptus di kawasan tersebut pada setiap periode panen.
Padahal, hutan lindung merupakan daerah penyangga yang seharusnya dipertahankan kelestariannya serta dijaga tutupan hutannya. []