Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengimbau peserta Pemilu 2024 untuk menghindari kampanye negatif dan kampanye hitam.
Meski kampanye negatif tidak ada hukumannya, kata Mahfud, berpolitik baik dan santun wajib dilaksanakan.
Demikian disampaikan Menko Polhukam dalam Kuliah Umum bertema "Demokrasi Konstitusional dan Pemilu Bermartabat", di Universitas Udayana, Denpasar, Bali, Selasa, 10 Oktober 2023.
"Kampanye negatif itu menyampaikan sisi yang buruk atau negatif dari seorang calon walau faktanya demikian, itu tidak ada hukumannya. Kalau kampanye hitam, menyampaikan sesuatu yang buruk, namun tidak sesuai kenyataan atau hoaks, itu ada hukumannya. Nah, dua-duanya harus dihindari agar Pemilu kita mendatang berlangsung baik dan santun," ujar Mahfud.
Tak hanya itu, ia juga mengingatkan semua pihak untuk tidak menjalankan politik identitas dalam Pemilu maupun Pilkada Serentak. Pandangannya, hal itu akan membuat kontestasi menjadi tidak fair dan berpotensi menimbulkan konflik.
"Menggunakan identitas politik boleh, misalnya, mengatakan saya Muslim, saya Madura, boleh saja, tetapi kalau menjalankan politik identitas itu tidak boleh, yaitu menjadikan identitas politik untuk mencederai lawan atau orang lain," tuturnya.
Ia menjelaskan, pemilu adalah salah satu mekanisme yang menjadi penanda negara demokrasi. Agar proses dan hasilnya benar-benar demokratis, lanjutnya, maka pemilu harus dilaksanakan secara bermartabat yaitu sesuai dengan nilai, etika, dan aturan hukum.
"Kenapa kita memilih demokrasi, bukan monarki, oligarki, atau yang lain? Karena sistem demokrasi dipandang paling memungkinkan berjalan dan bekerjanya negara sebagai organisasi kekuasaan yang bertujuan melindungi, menghormati, dan memajukan hak asasi manusia," tukasnya.
Alasan lain, sambungnya, karena demokrasi memuat tanggung jawab penyelenggara negara kepada rakyatnya, dan dalam demokrasi ada cara mengoreksi.
Dalam negara demokrasi, kekuasaan harus bersirkulasi berdasarkan kehendak rakyat.
Demokrasi konstitusional itu ditandai antara lain kekuasaan dibatasi waktunya, misalnya, Presiden dan DPR selama lima tahun, juga dibatasi lingkup kewenangannya.
"Itu sebabnya kita menyenggarakan Pemilu setiap lima tahun. Pemilu bukan untuk mencari pemimpin ideal dan sempurna karena tidak akan ketemu, tapi untuk mencegah orang jahat menjadi pemimpin. Jadi, tugas Anda semua ikut Pemilu dan pilih pemimpin yang paling sedikit kejelekannya," ucap Mahfud.[]