Jakarta - Pengelolaan proyek satelit Kementerian Pertahanan (Kemenhan) yang dijalankan pada 2015 diduga merugikan negara hingga Rp 800 miliar. Di luar angka tersebut, negara juga masih berpotensi ditagih sejumlah perusahaan transnasional akibat kontrak yang dibuat Kemenhan.
Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud Md membeberkan salah satu kejanggalan dalam persoalan ini adalah Kemenhan membuat kontrak dengan Avanti Communication Limited. Padahal negara belum menganggarkan kontrak itu.
"Kementerian Pertahanan pada tahun 2015, melakukan kontrak dengan Avanti untuk melakukan sesuatu. Padahal, anggarannya belum ada. Anggarannya belum ada, dia sudah kontrak," kata Mahfud dalam konferensi pers virtual, Kamis, 13 Januari 2022.
Mahfud menjelaskan persoalan ini bermula saat Satelit Garuda-1 keluar meninggalkan Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur (BT). Akibatnya, timbul kekosongan pengelolaan slot orbit.
Sementara itu, International Telecommunication Union (ITU) menetapkan negara yang memiliki hak mengelola suatu slot orbit diberi waktu selama tiga tahun untuk mengisi kekosongan itu. Jika tidak dilakukan, maka hak pengelolaan slot orbit secara otomatis akan gugur. Negara lain juga bisa menggunakan slot tersebut.
Menghindari kekosongan orbit lebih lama, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) kemudian memenuhi permintaan Kemenhan untuk membangun Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan).
Mahfud membeberkan Kominfo baru menerbitkan persetujuan pengelolaan oleh Kemhan per 29 Januari 2016. Namun, Kemenhan telah membuat kontrak sewa satelit Artemis pada 6 Desember 2015.
"Kemenhan kemudian membuat kontrak sewa Satelit Artemis yang merupakan floater (satelit sementara pengisi orbit) milik Avanti Communication Limited, pada tanggal 6 Desember 2015," kata Mahfud Md.
Pada 25 Juni 2018 Kemenhan mengembalikan hak pengelolaan slot orbit 123 derajat BT ke Kemkominfo. Kemudian, pada 10 Desember tahun yang sama, Kemkominfo memutuskan Hak Penggunaan Filing Satelit Indonesia pada Orbit 123 derajat untuk Filing Satelit Garuda-2 dan Nusantara-A1-A kepada PT Dini Nusantara Kusuma (PT. DNK).
Namun, perusahaan tersebut tidak bisa menyelesaikan residu dampak tindakan Kemenhan dalam pengadaan Satkomhan.
Menurut Mahfud, saat meneken kontrak sewa dengan Avanti tahun 2015, Kemenhan belum memiliki anggaran untuk membangun Satkomhan.
Sementara itu, sepanjang 2015-2016 Kemenhan meneken kontrak dengan Navayo, Detente, Airbus, Lovel, Hogan, dan Telesat. Padahal, anggarannya belum tersedia pada 2015.
"Sedangkan di Tahun 2016, anggaran telah tersedia namun dilakukan self blocking oleh Kemenhan," ujar Mahfud.
Beberapa waktu kemudian, Avanti melayangkan gugatan melalui London Court of International Arbitration. Sebab, Kemenhan tidak membayar satelit sesuai nilai kontrak yang telah disepakati.
Kata Mahfud, pengadilan arbitrase kemudian menjatuhkan vonis yang membuat negara harus mengeluarkan uang hingga setengah triliun.
"Lalu, pada tanggal 9 Juli 2019, pengadilan arbitrase menjatuhkan putusan yang berakibat Negara telah mengeluarkan pembayaran untuk sewa Satelit Artemis, biaya arbitrase, biaya konsultan, dan biaya filing satelit sebesar Rp 515 Miliar," kata Mahfud
Terkait kontrak dengan pihak Navayo, pada 2016-2017 pejabat Kemenhan disebut tetap menerima dan menyetujui barang-barang yang diserahkan oleh Navayo meski tidak sesuai dengan dokumen Certificate of Performance.
Navayo kemudian menagih uang sebesar USD 16 juta kepada Kemenhan. Namun, pemerintah menolak membayar tagihan ini. Navayo kemudian menggugat Indonesia ke pengadilan Arbitrase Singapura pada 22 Mei tahun lalu.
"Berdasarkan putusan Pengadilan Arbitrase Singapura tanggal 22 Mei 2021, Kemenhan harus membayar USD 20.901.209 kepada Navayo," tutur Mahfud.
Selain dua tagihan bernilai jumbo itu, lanjut Mahfud, masih ada kemungkinan Kemenhan bakal ditagih oleh Detente, Hogan Lovells, Teleset, dan Airbus.
"Negara bisa mengalami kerugian yang lebih besar," tutur Mahfud Md. []