SIANTAR - Pagi-pagi, sekitar pukul 9. Pemberitahuan di grup WhatsApp (WA) muncul, marbinda jadi dilaksanakan di rumah seorang anggota grup yang dituakan, persisnya di Jalan Cornel Simanjuntak, Pematangsiantar, Sumut.
Pengabarnya adalah admin grup Jhona Nababan, sekaligus yang menjadi motor kegiatan dan penggalangan dana untuk binda atau marbinda.
Di grup WA itu muncul foto rempah, bahan yang akan digunakan untuk memasak daging. Tak lama muncul video pendek aksi pemotongan daging babi.
"Kalau masih ada yang di markas (markas komunitas). Segeralah merapat. Tolong dibawakan empat bungkus kopi," demikian notifikasi berbau ajakan sekaligus perintah dari Jhona kepada para peserta binda, Selasa, 23 Desember 2025.
Maka mulailah kegiatan marbinda untuk para anggota komunitas yang disebut Huribaks. Sebuah komunitas berisi orang-orang dengan ragam latar belakang, saban hari biasa nongkrong, ngobrol, ngopi, dan diskusi di kedai kopi marga Nainggolan di Simpang 4 Pematangsiantar.
Jhona yang juga seorang kepala SD negeri di Kabupaten Simalungun mengorganisir mulai dari pemotongan hewan ternak babi, sampai dengan membungkus dalam plastik serta meraciknya untuk disantap bersama.
Dia tidak sendiri, beberapa anggota grup ikut nimbrung kerja sama. Terutama nimbrung mencicipi.
Grup Huribaks menyebut tradisi marbinda dengan sedikit nakal judulnya, yakni BiNal atau binda natal.
Apa itu Binda atau Marbinda? Anda tahu, Kementerian Pariwisata sampai mencatat ini layak untuk dilestarikan.
Marbinda, tulis Kemenpar dalam websitenya, adalah salah satu tradisi suku Batak yang sudah berjalan turun-temurun saat merayakan Natal dan Tahun Baru.
Marbinda dalam bahasa Batak berarti menyembelih hewan bersama-sama. Tradisi marbinda dilakukan atas kesepakatan sekelompok masyarakat yang ingin menyembelih hewan hingga menikmati hidangan bersama.
Hewan yang biasa disembelih saat marbinda adalah hewan berkaki empat, seperti babi, kerbau, kuda atau sapi sesuai kesepakatan bersama.
Hewan ini dibeli dari dana patungan dari beberapa anggota keluarga atau anggota komunitas.
Meski puncak marbinda dilakukan pada saat perayaan Natal atau Tahun Baru, persiapan atau pengumpulan dana secara patungan dimulai sejak beberapa minggu hingga berbulan-bulan sebelumnya, bahkan ditabung sejak awal tahun.
Awalnya ditentukan dahulu jenis hewan yang akan disembelih, untuk selanjutnya dihitung iuran tiap bulan hari marbinda tiba.
Dulu, pembayaran marbinda dibayar dengan padi saat panen, tapi seiring waktu, pembayaran marbinda dihitung dengan uang.
Daging hasil sembelihan ini biasanya dibagi menjadi dua kelompok. Sebagian akan dimasak bersama dan sebagian lagi dibagi dalam bentuk daging mentah untuk dibawa pulang.
Kegiatan memotong hingga memasak daging bersama-sama ini disebut sebagai marhobas (gotong royong). Marbinda dan marhobas akan diakhiri dengan perayaan dan makan bersama.
Dengan marbinda, orang Batak menjaga nilai-nilai kebersamaan, keadilan, saling menghargai dan senasib sepenanggungan.
Adil dan saling menghargai karena hewan yang disembelih akan dibagi secara rata kepada setiap anggota, kebersamaan dan gotong royong karena dalam proses menyembelih perwakilan setiap keluarga harus terlibat.
Marbinda menunjukkan semangat kebersamaan dengan daging yang sedikit semua anggota kelompok harus mendapat bagian dan pembiayaan yang ditanggung bersama.
Anggota Huribaks yang ikut binda berjumlah 25 orang, dengan patungan Rp 200.000 per orang, sudah bisa menikmati makan bersama dan membawa daging mentah seberat 2 Kg per orang untuk nantinya dimasak di rumah masing-masing.
Marbinda, masih mudah ditemukan di Kota Pematangsiantar, baik di warung tuak, kumpulan marga, gereja, lingkungan kampung, dan komunitas lainnya. []