News Kamis, 13 November 2025 | 18:11

Masyarakat Sipil Desak Pembebasan 34 Pejuang Lingkungan Dairi yang Menolak PT Gruti

Lihat Foto Masyarakat Sipil Desak Pembebasan 34 Pejuang Lingkungan Dairi yang Menolak PT Gruti Alat berat milik PT Gruti di kawasan hutan Kabupaten Dairi, Sumatra Utara. (Foto: Ist)
Editor: Tigor Munte

Sidikalang - Solidaritas masyarakat sipil mendesak aparat kepolisian membebaskan 34 warga Kabupaten Dairi, Sumatra Utara, yang ditangkap pada Rabu, 12 November 2025.

Mereka yang ditangkap di antaranya Pangihutan Sijabat yang dikenal sebagai Ketua Pejuang Tani Bersama Alam.

Pangihutan merupakan warga Dusun Hite Hoting, Desa Parbuluan VI, Kecamatan Parbuluan, Kabupaten Dairi.

Dia ditangkap sepulang mengantar anaknya ke SD Parbuluan Sihotang di Dusun Parikki, Desa Parbuluan VI. 

Penangkapan dilakukan oleh sekitar 6 orang yang mengendarai dua mobil dan satu sepeda motor.

Kemudian sekitar pukul 09.00 di hari yang sama, warga dari Desa Parbuluan VI hadir ke Polres Dairi untuk memastikan keberadaan Pangihutan Sijabat. 

Saat masyarakat hadir di Polres Dairi, terjadi kericuhan antara polisi dan masyarakat. Masyarakat yang hadir diseret, dipiting, dan mendapatkan luka lebam. 

Polisi melakukan penangkapan secara brutal terhadap masyarakat. Penangkapan ini terjadi ketika masyarakat meminta agar Polres Dairi memperbolehkan warga bertemu dengan ketua kelompok mereka, yaitu Pangihutan Sijabat. 

Togap Sihombing dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sumut dalam pernyataan bersama masyarakat sipil pada Kamis, 13 November 2025 di Sidikalang, mengatakan, inti dari perjuangan warga adalah perjuangan hak atas sumber agraria. 

PT Gruti menurut dia dengan operasionalnya, telah menimbun dan mematikan 10 anak sungai yang menjadi urat nadi kehidupan pertanian warga. 

"Ini adalah bentuk perampasan ruang hidup dan penggusuran ekologis yang secara sistematis menghancurkan ketahanan pangan dan mata pencaharian petani,” ujarnya. 

Rohani Manalu dari Yayasan Diakonia Pelangi Kasih (YDPK) menegaskan, masyarakat hanya membutuhkan ruang hidup mereka terjaga.

Ironisnya, semua itu terabaikan dengan kehadiran PT Gruti.  

“Seperti kita ketahui gelondongan kayu milik PT Gruti bukannya dinikmati masyarakat sekitar. Lalu untuk apa ada itu? Masyarakat hanya butuh ruang hidupnya terjaga. Hadirnya perusahaan mengeringkan mata air mereka” ujarnya.

Dikatakan, Pangihutan Sijabat dan 33 orang lainnya adalah warga yang resah karena kerusakan lingkungan hidup di desa mereka yang sangat masif. 

Sekitar 700 hektare hutan di Desa Parbuluan VI dan di Desa Sileu-leuh telah habis ditebang. 

Tanah yang bertekstur lembah dan bukit diratakan, 10 anak sungai yang merupakan sumber air untuk kebutuhan hidup dan kebutuhan pertanian warga Desa Parbuluan VI dan Sileu-leuh saat ini telah kering. 

Perusahaan menutup  dengan cara menimbun anak-anak sungai. Sumur-sumur warga juga sudah mulai kering. 

Kondisi ini terjadi sejak kehadiran PT. Gunung Raya Utama Timber Industries (Gruti) di Desa Parbuluan IV dan Desa Sileu-leuh tahun 2019. 

Diperkirakan 2.402 jiwa warga desa Sileu-Leuh dan 5.191 jiwa warga Parbuluan VI terkena dampak kerusakan lingkungan ini. 

Berbagai upaya telah dilakukan masyarakat, sejak tahun 2020 warga telah beraudiensi 10 kali ke Kantor Bupati Dairi, dan ke Kantor DPRD Kabupaten Dairi, tapi tidak ada respons yang dapat menghentikan perusakan lingkungan hidup warga.

“Agustus lalu, masyarakat sudah melakukan Rapat Dengar Pendapat dengan DPRD Dairi. Dalam rapat tersebut, DPRD Dairi berencana akan membentuk Panitia Khusus (pansus) terkait adanya keberadaan PT Gruti yang berlokasi di Desa Parbuluan VI. Tapi belum ada juga tindak lanjutnya. Kalau terjadi bencana seperti banjir bandang tak hanya Parbuluan yang mengalami banjir, tapi sampai ke Silalahi bahkan Samosir,” ujar Duat Sihombing dari Yayasan Petrasa. 

Masyarakat sipil ini menegaskan, Pangihutan Sijabat dan 33 orang lainnya adalah pejuang lingkungan yang mempertahankan ruang hidup mereka. 

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) menyatakan untuk melindungi setiap orang, termasuk korban, pelapor, saksi, ahli dan aktivis lingkungan yang berpartisipasi dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan/atau menempuh cara hukum akibat adanya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. 

Perlindungan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan pembalasan melalui pemidanaan, gugatan perdata dan/atau upaya hukum lainnya dengan tetap memperhatikan kemandirian peradilan. 

Dikuatkan lagi dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 10 tahun 2024 yang berbunyi “Orang yang memperjuangkan lingkungan hidup tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata”.  

“Tindakan ini merupakan pelanggaran HAM, Pemerintah melakukan pengabaian dan pembiaran sehingga masyarakat tidak dapat mendapatkan lingkungan yang bersih dan sehat. Negara harus menjamin hak konstitusional. Selain itu juga ada tindakan represif dari pihak kepolisian yang menangkap masyarakat dengan brutal,” ujar Nurleli Sihotang dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu).

Boy Raja Marpaung sebagai kuasa hukum Sekber Gerakan Oikumenis untuk Keadilan Ekologis Sumatera Utara, mengatakan dari 34 orang, 33 orang sekarang di Polres Dairi dan 1 orang di Polda Sumut, yakni Pangihutan Sijabat. 

"Sekarang posisi mereka sedang sebagai saksi dan menunggu proses selanjutnya,” sebutnya. 

Merujuk pada peristiwa ini, Solidaritas Masyarakat Sipil mendesak Kapolres Dairi untuk segera melepaskan 33 orang warga yang ditahan saat ini dan Pangihutan Sijabat yang ditahan di Polda Sumatera Utara.

"Mereka bukan kriminal, mereka adalah pejuang lingkungan. Serta tidak melakukan tindakan brutalitas kepada masyarakat desa Parbuluan VI," kata Boy.

Pihaknya juga meminta Komnas HAM memberikan perlindungan kepada warga yang sedang memperjuangkan hak hidup, dan hak lingkungan hidupnya serta mendesak Kementerian Kehutanan untuk mengevaluasi PT Gunung Raya Utama Timber Industries (Gruti) yang telah mengakibatkan kerusakan dan hilangnya mata air di Desa Parbuluan VI.

Didesak pula Kementerian Kehutanan untuk segera mencabut izin (IUPHHK-HA) PT Gruti karena kerusakan lingkungan yang diakibatkan usahanya dan kerusakan ini telah berdampak terhadap kehidupan warga, yaitu hilangnya sumber air masyarakat baik untuk kebutuhan sehari-hari maupun untuk pertanian. 

"DPR RI Komisi IV, Komisi VII dan Komisi XII untuk segera menindaklanjuti pengaduan yang telah berulang kali dilakukan masyarakat ke DPRD Kabupaten Dairi, namun hingga kini tidak ada tindak lanjut," tandas Boy.

Kapolres Dairi AKBP Otniel Siahaan yang coba dihubungi lewat chat WA terkait penanganan 34 warga yang ditahan, belum tersambung pada Kamis, 13 November 2025. []

[]

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya