Daerah Senin, 26 September 2022 | 16:09

Mayoritas Lahan Pertanian di Indonesia Dikuasai 6 Persen Petani Kaya

Lihat Foto Mayoritas Lahan Pertanian di Indonesia Dikuasai 6 Persen Petani Kaya Massa Gerakan Rakyat Tutup TPL aksi di Balige, Kabupaten Toba, Sumatra Utara, Senin, 26 September 2022. (Foto: Tangkapan Layar)
Editor: Tigor Munte

Toba - Selama 61 tahun setelah pengesahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria atau UUPA, keadilan agraria masih belum terwujud dan jauh dari kata baik. 

"Gini rasio kepemilikan tanah masih di kisaran 0,54 sampai 0,67. Data menunjukkan, 6 persen petani terkaya menguasai 38,5 persen tanah pertanian. Sedangkan 56 persen petani hanya menguasai 12 persen lahan pertanian," demikian pernyataan dari Gerakan Rakyat (Gerak) Tutup TPL dalam aksi peringatan Hari Tani Nasional di Balige, Kabupaten Toba, Sumatra Utara, Senin, 26 September 2022.

Hari Tani Nasional diperingati setiap 24 September, dan itu merujuk pada hari pengesahan UUPA. 

UUPA merupakan pijakan formal bagi revolusi di sektor agraria, yaitu penjungkirbalikan model pemilikan, penguasaan, dan pemanfaatan tanah. 

UUPA tak hanya menjamin hak atas tanah bagi seluruh rakyat Indonesia, tetapi juga memperjuangkan keadilan agraria sebagai pijakan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. 

"Meski sudah dijamin UUPA upaya mewujudkan keadilan agraria tidak berjalan mulus. Program landreform berjalan sangat lambat. Pasca pengesahan UUPA, konflik agraria masih terus terjadi. Baik petani dengan pengusaha ataupun masyarakat adat dengan perusahaan," kata Thomson Ambarita dalam pernyataan sikap aksi. 

Baca juga:

Aksi Demo Tutup PT Toba Pulp Lestari di Balige

Disebutnya, pemerintah belum sepenuhnya berpihak kepada petani yang merupakan pekerjaan mayoritas penduduk Indonesia, termasuk penduduk di Tapanuli Raya atau Kawasan Danau Toba. 

"Perampasan dan monopoli tanah terus berlangsung dan semakin masif. Tindakan kekerasan, penangkapan, pemenjaraan terhadap kaum tani, kriminalisasi terus meningkat dan meluas di berbagai wilayah," ungkapnya.

Lebih jauh, masifnya klaim sepihak pemerintah dan perusahaan terhadap hak ulayat atau tanah tanah adat yang ada di Tapanuli tidak malah membaik.

Peristiwa kekerasan yang dialami oleh Masyarakat Adat di Natumingka, okupasi lahan oleh kepolisian di Sihaporas, pemanggilan dengan tuduhan pengrusakan kepada Masyarakat Adat Op Ronggur Simanjuntak dan Natinggir, semakin menunjukkan betapa masyarakat jauh dari sejahtera.

Merujuk itu, aksi Aliansi Gerak Tutup TPL, yang terdiri dari komunitas masyarakat adat, kelompok tani, dan serikat tani meminta kepada pemerintah untuk segera mengembalikan tanah adat/ hak atas tanah, memberikan perlindungan komoditas kemenyan, perlindungan dan pemberdayaan petani.

"Pemerintah juga harus memberikan hak atas sumber daya air, menghentikan kriminalisasi terhadap masyarakat adat dan petani, serta laksanakan reforma agraria sejati sesuai UUPA," katanya. []

 

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya