Jakarta - Wacana penundaan Pemilu 2024 yang digaungkan sejumlah parpol dan elite politik direspons Deputi II Kepala Staf Kepresidenan 2015-2019 Yanuar Nugroho.
Di balik niat menunda Pemilu 2024 itu kemudian muncul wacana memperpanjang masa jabatan Presiden Jokowi tiga periode atau memperpanjang tiga tahun tahun sejak 2024, seperti digaungkan Luhut Binsar Pandjaitan.
"Jika kita lihat usulan ini sebagai sebuah wacana, maka wacana menunda pemilu atau bahkan wacana 3 periode ini jelas-jelas mencederai perjuangan panjang mencapai demokrasi. Ia merusak seluruh rangkaian hidup bersama berdasar demokrasi yang coba ditata dan dibangun sejak Reformasi 1998," kata Yanuar Nugroho dipetik dari thread di Twitternya, Senin, 14 Maret 2022.
Dia mengingatkan masa kelam Orde Baru. Kekuasaan Presiden Soeharto terus diperpanjang dari waktu ke waktu dengan alasan bahwa Indonesia membutuhkan pemimpin yang kompeten, membutuhkan pemimpin yang sudah punya pengalaman, atau banyak program strategis yang mesti diselesaikan.
Alasan-alasan itulah kata dia, yang membawa Presiden Soeharto berkuasa 32 tahun. Upaya untuk terus melanggengkan kekuasaan ‘bapak pembangunan’ ini mengubah watak kekuasaan, "Kita harus merasakan pahitnya hidup di bawah pemerintahan yang otoriter, sarat KKN, dan mengekang kebebasan berpendapat," katanya mengingatkan.
Fakta ini menurut Yanuar, sejalan dengan filosofi tentang kekuasaan, bahwa kekuasaan cenderung melahirkan sikap korup dan kekuasaan yang mutlak pasti akan korup.
Baca juga: Milenial Makassar Deklarasi di Monumen Mandala Dukung Ganjar Jadi Presiden 2024
"Ada alasan lain, tidak ada yang lebih hebat dari Pak Jokowi. Saya tidak setuju. Beliau memang hebat, tapi saya yakin ada yang sama, malah lebih hebat di antara 270 juta penduduk Indonesia. Alasan bahwa tak ada yang lebih baik dari Pak Jokowi mengada-ada dan tak bisa dipertanggungjawabkan," tandasnya.
Yanuar mengaku membantu Presiden Jokowi di istana sebagai Deputi II di KSP 2015-19. "Saya amat hormat dengan sosok beliau. Tapi saya tidak setuju bahwa tak ada yang sebaik beliau. Kita justru harus lebih khawatir kalau tidak bisa menemukan pemimpin masa depan Indonesia dan berhenti pada figur Jokowi," katanya.
Dia menyebut, proses Pemilu 2024 masih terus bergulir. Perlu ditunggu tindakan politik yang mungkin mengabulkan usulan penundaan pemilu ini, apakah akan ada amandemen UUD. Apakah akan ada tindakan politik yang lain, misalnya koalisi-koalisi baru yang muncul.
"Selama tindakan-tindakan tersebut belum terjadi, dan penundaan pemilu ini masih berbentuk wacana, maka wacana ini juga perlu dihadapi dengan wacana," katanya.
Disebutnya, saat ini ruang publik didominasi oleh wacana penundaan pemilu yang diusung parpol dan ormas. Perlu didorong masyarakat sipil dan juga parpol dan ormas yang berpendapat berbeda, agar pemilu tidak diundur untuk menjaga demokrasi, berani menyampaikan suaranya dan mewarnai ruang publik.
Karena menurutnya, jika wacana penundaan pemilu ini tidak dilawan atau ditolak secara berarti, ia bisa menjadi legitimasi bagi DPR untuk meloloskan gagasan ini. Wacana ini akan menjadi modalitas, tidak sekedar simbol, dari praktik semena-mena kekuasaan dan konsekuensi yang menyertainya.
"Karena itu, selama usulan ini masih menjadi wacana, maka publik perlu segera melawan wacana ini. Wacana penundaan pemilu adalah wacana yang mesti segera dihadapi dengan sikap tegas untuk mendukung demokrasi dan menjaga semangat reformasi," tukasnya. []