Jakarta – Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengungkapkan bahwa penerapan Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) justru menekan penerimaan negara dari sektor komoditas andalan, khususnya batu bara.
Perubahan status batu bara menjadi Barang Kena Pajak (BKP) dinilai membebani fiskal negara dengan kewajiban restitusi pajak yang sangat besar.
Hal tersebut disampaikan Purbaya dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI di Jakarta Pusat, pada Senin lalu, 8 Desember 2025.
Purbaya menjelaskan,sejak UU Ciptaker 2020 mengubah status batu bara dari non-BKP menjadi BKP, industri tambang berhak mengajukan pengembalian (restitusi) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) kepada negara. Nilai restitusi ini mencapai angka yang fantastis.
"Pada waktu Undang-Undang Cipta Kerja 2020 diterapkan... industri batu bara bisa meminta restitusi PPN ke pemerintah, itu sekitar Rp 25 triliun per tahun," ujar Purbaya.
Akibatnya, net penerimaan negara dari sektor batu bara yang sebelumnya positif justru berbalik menjadi negatif.
"Net income kita dari industri batu bara bukannya positif, malah dengan pajak segala macam jadi negatif," tambahnya.
Menkeu menilai kondisi ini paradoks.Di satu sisi, perusahaan batu bara meraih keuntungan besar, terutama saat harga komoditas tinggi.
Di sisi lain, negara justru harus membayar restitusi dalam jumlah besar, yang secara tidak langsung seperti memberikan subsidi.
"Ini orang kaya, ekspor untungnya banyak, saya subsidi kira-kira secara enggak langsung," ucap Purbaya.
Ia menegaskan hal ini bertentangan dengan prinsip keadilan ekonomi.
Dampak langsung dari beban restitusi ini juga disebutkan sebagai salah satu penyebab turunnya realisasi penerimaan pajak tahun ini.
"Makanya kenapa pajak saya tahun ini turun, karena bea restitusi cukup besar," terangnya.
Untuk menutupi kerugian fiskal dan memperbaiki struktur penerimaan, pemerintah menyiapkan kebijakan pemungutan bea keluar (export duty) untuk dua komoditas, yaitu batu bara dan emas.
Kebijakan ini dianggap tidak akan mengganggu daya saing ekspor Indonesia di pasar global.
"Artinya apa? Jadi sisi daya saing di pasar global tidak akan berkurang karena hanya seperti sebelumnya saja, 2020 sebelumnya seperti itu dan mereka bisa bersaing," jelas Purbaya.
Dalam rapat tersebut, Purbaya menyebut skema tarif yang direncanakan:
· Batu bara: 1-5 persen
· Emas: 7,5-15 persen
Dari kebijakan ini, pemerintah menargetkan tambahan penerimaan sekitar Rp23 triliun per tahun, dengan rincian Rp 20 triliun dari batu bara dan Rp 3 triliun dari emas.
Dana tambahan ini diproyeksikan untuk membantu menutup defisit anggaran pada tahun depan.
Langkah ini ditempuh untuk meringankan beban anggaran negara dari industri ekstraktif yang dinilai belum memberikan kontribusi fiskal yang sebanding dengan keuntungan yang diperolehnya.[]