Jakarta - Tjung Subianto, seorang warga kota Singkawang, Kalimantan Barat, merasa telah dipermainkan dan sangat dirugikan atas penolakan Pemerintahan Kota Singkawang terhadap permohonannya untuk mendapatkan Izin Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (IPPT) atas tanah miliknya sendiri seluas 163 m².
Kuasa Hukum Tjung Subianto, Agus Akbar SH., MH yang berkantor di Wisma Laena Building Lt. 5 Suite 508, Jakarta Selatan, menjelaskan, semula permohonan IPPT tersebut telah dikabulkan oleh Plt Kepala Bidang Penataan Ruang Pemkot Singkawang.
Karena, kliennya sudah memenuhi semua persyaratan untuk mendapatkan IPPT yaitu: pertama, Surat Rekomendasi dari Lurah Kelurahan Melayu, Kecamatan Singkawang, Kabupaten Pontianak tanggal 21 Agustus 2019 Nomor 591/08.a/Ek-Bang.
Kedua, Surat Rekomendasi dari Camat Kecamatan Singkawang sebagai Penunjang Persyaratan Izin IPPT tertanggal 23 Agustus 2019 Nomor 591/012.a/Ek-Bang.
Ketiga, Surat Pernyataan tidak keberatan atas rencana penggunaan tanah yang ditandatangani oleh para warga sekitar lokasi yang dimohon.
Selain itu, menurut Agus, kliennya juga telah melengkapi dengan melampirkan bukti kepemilikan berupa 5 (lima) Sertifikat Hak Milik seluas 1.600 m².
Selanjutnya, lanjut dia, kliennya membayar Pajak Bumi Bangunan (PBB) atas lokasi yang dimohon berikut melampirkan Gambar Rencana (Site Plan) rumah yang akan dibangun di atas tanahnya tersebut.
Dengan semua persyaratan tersebut Pemkot Kota Singkawang melakukan survei lokasi.
Agus menuturkan, beberapa waktu kemudian Plt. Kepala Bidang Penataan Ruang Pemkot Singkawang menerbitkan Surat Persetujuan atas Gambar Rencana (Site Plan).
Tiba-tiba, ujarnya, Pemerintahan Kota Singkawang menerbitkan Surat Penolakan IPPT tertanggal 23 September 2019 Nomor 503/237/PPT.B dengan alasan, lokasi yang dimohon masuk ke dalam Pola Ruang Terbuka Hijau Lapangan Olahraga (RTH LOR) dan Taman Kota dan dinyatakan melanggar Peraturan Daerah (Perda) Singkawang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Singkawang tahun 2013-2032.
"Tentu saja Tjung merasa dipermainkan. Ini merupakan bentuk Penyalahgunaan Kekuasaan (Abuse of Power) oleh Pemkot Singkawang," ujar Agus kepada wartawan, Minggu, 21 November 2021.
Padahal, lanjutnya, sebelumnya Pemkot Singkawang tidak pernah melakukan sosialisasi kepada masyarakat Warga Kota Singkawang jika lokasi tersebut masuk ke dalam area zona hijau.
"Ini jelas menyalahi azas-azas umum tata pemerintahan yang baik. Pak Tjung merasa Pemkot Singkawang telah bertindak sewenang-wenang karena klien saya adalah pemilik dan pemegang hak yang sah atas bidang tanah tersebut," ucapnya.
Menurut dia, tindakan Pemkot Singkawang ini sama saja mematikan hak keperdataan kliennya. Yang lebih parah lagi, kata Agus Akbar, Pemkot Singkawang tidak pernah mengirimkan surat penolakan tersebut kepada kliennya, melainkan hanya disimpan di laci kantor Pemkot Singkawang.
Agus melanjutkan, kliennya sempat meminta bantuan Lurah Kelurahan Melayu untuk mengambil surat tersebut. Namun, yang diberikan kepada kliennya hanya scan surat dan disampaikan melalui WhatsApp.
Padahal, Pemkot Singkawang jelas mengetahui alamat lengkap Tjung Subianto yang terdapat di surat permohonan IPPT. Fakta ini, kata Agus, mengesankan ada indikasi untuk menyembunyikan dan menghilangkan tanah kliennya.
"Surat IPPT tidak dikirimkan oleh Tergugat hanya disimpan di laci Tergugat. Penggugat meminta Lurah Melayu untuk datang mengambil suratnya dari Tergugat. Ini mengesankan ada indikasi upaya untuk menyembunyikan dan menghilangkan jejak kepemilikan tanah milik klien kami," ucap dia.
Tentu saja pihaknya merasa amat dirugikan dengan tindakan Pemkot Singkawang selama enam bulan. Imbasnya, kliennya jadi terlambat mengajukan gugatan ke PTUN. Tentunya Pemkot telah memperkirakan Tjung akan mengujakan gugatan ke PTUN dalam kondisi sudah terlambat.
"Bagaimana kami dapat memenuhi kriteria waktu 90 hari kalau Surat Penolakan IPPT disimpan (Pak Lurah) sejak (diterbitkan) tanggal 23 September 2019, karena saya minta tolong ke kantor IPPT pada tanggal 20 Maret 2020. Jadi dari waktu Surat Penolakan tersebut dibuat oleh dinas IPPT bulan September 2019, ke bulan Maret 2020 (6 bulan). Artinya, sudah lebih dari 180 hari surat tersebut ditahan," katanya.
"Sampai saat ini pun asli surat penolakan IPPT masih ada pada Pemkot Singkawang. Surat tersebut diterima oleh klien kami dari pihak Lurah Kelurahan Melayu yang disampaikan melalui WhatsApp. Apakah ini benar dan tidak menyalahi azas-azas umum tata pemerintahan yang baik? Itu pun berupa scan suratnya saja" kata Agus lagi.
Karena merasa telah diperlakukan tidak adil, akhirnya Tjung Subianto mengajukan gugatan ke PTUN Pontianak dengan register perkara Nomor 19/G/2020/PTUN.Ptk.
Akhirnya, tiba saat pembuktian di pemeriksaan sidang PTUN Pontianak, karena Tjung hanya bisa menunjukkan foto copy-nya saja, maka gugatannya ditolak.
"Sebab, bagaimana mungkin karena asli surat penolakan IPPT itu masih ada pada Pemkot Singkawang. Akibatnya gugatan kami ditolak oleh PTUN Pontianak. Kami melakukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi PTUN Jakarta yang hasilnya sama dengan putusan PTUN Pontianak," ujar Agus menjelaskan.
Agus menekankan, kliennya tidak puas dengan kedua putusan tersebut karena hanya mendengarkan pihak Pemkot Singkawang saja. Menurut dia, terlihat jelas ada keberpihakan PTUN kepada penguasa. Namun, mengabaikan segala keberatan yang pihaknya kemukakan.
Agus menengarai ada indikasi pihak penguasa berkolaborasi dengan kepentingan suatu kelompok bisnis tertentu yang menginginkan lahan kliennya itu, karena berada di daerah strategis.
"Wajar bila klien kami merasa menjadi korban dan merasa dirugikan," ucapnya.
Lebih lanjut Agus memastikan, kliennya adalah pemegang hak yang sah atas tanah yang menurut pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok Pokok Agraria yang mengamanatkan semua tanah harus memenuhi fungsi sosial.
"Klien kami hendak memenuhi pasal tersebut, Mengapa kehendaknya untuk memenuhi undang-undang dapat dikesampingkan begitu saja?" ucapnya terheran-heran.
"Kedua, putusan PTUN tersebut jelas telah melanggar hak-hak konstitusional klien kami yang dijamin oleh hukum. Kini, Kami meneruskan persoalan hukum ini ke tingkat kasasi dengan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung RI dengan register perkara Nomor 382 K/TUN/2021 yang saat ini masih tahap pemeriksaan. Kami Berharap MA dapat bertindak adil," kata Agus Akbar. []