News Rabu, 20 Juli 2022 | 15:07

MK Tolak Uji Materi UU Narkotika Terkait Legalisasi Penggunaan Ganja untuk Medis

Lihat Foto MK Tolak Uji Materi UU Narkotika Terkait Legalisasi Penggunaan Ganja untuk Medis Mahkamah Konstitusi (MK). (Foto: Opsi/Ist)
Editor: Rio Anthony

Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak menolak uji materi UU Narkotika terhadap UUD 1945 tentang penggunaan ganja medis untuk kesehatan. MK menyebut, pengujian materi ini merupakan kewenangan DPR dan Pemerintah.

"Mengadili. Menolak permohonan pemohon," kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang di gedung MK yang disiarkan live dari channel YouTube MK, Rabu 20 Juli 2022.

MK menilai, kewenangan penilaian materi ini merupakan milik DPR dan pemerintah, sebab materi tersebut merupakan bagian dari kebijakan terbuka.

"Hal itu bagian dari open legal policy," ucap MK.

Diketahui, gugatan dengan nomor 106/PUU-XVIII/2020 ini diajukan oleh Dwi Pertiwi, Santi Warastuti, dan Nafiah Murhayanti, dkk.

Mereka meminta MK menguji Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pendapat para ahli juga didengarkan dalam sidang ini.

Stephen Rolles, analis kebijakan senior untuk Transform Drug Policy menyebut penetapan ganja sebagai narkoba golongan 1 merupakan kebijakan politis, bukan didasarkan kesehatan.

"Secara umum, kalau kita melihat secara historis banyak keputusan-keputusan tentang penggolongan obat-obatan tersebut, khususnya yang sudah lama dilakukan puluhan tahun yang lalu, seperti LSD atau cannabis (ganja) itu terjadi dalam suatu konteks yang sangat terpolitisasi," kata pria yang akrab disapa Steve itu.

Dekan Fakultas Hukum (FH) Unika Atma Jaya, Jakarta, Asmin Fransiska menyatakan setuju dengan legalisasi ganja dalam bidang medis karena sesuai dengan UU yang menjamin hak atas kesehatan.

"Konstitusi Republik Indonesia Pasal 28H ayat (1) menjamin hak atas kesehatan, atas layanan kesehatan kepada semua. Salah satu sifat dari hak atas kesehatan adalah bahwa hak tersebut bersifat progressive realization atau pemenuhannya harus dilakukan terus-menerus secara progresif dan tidak boleh regresif atau menurun serta diberikan dan dipenuhi tanpa diskriminasi atau nondiscriminations principle," kata Asmin.

Sementara itu, Ketua Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Syaraf Indonesia, Aris Catur Bintoro menyatakan tidak setuju dengan legalisasi ganja dalam bidang kesehatan.

Ia menyebut, dalam simposiun Organisasi Epilepsi Dunia pada tahun 2018 lalu, masih banyak ahli-ahli yang menyatakan kurang setuju dengan legalisasi ganja sebagai obat epilepsi.

"Kami di ILAE, Organisasi Epilepsi Dunia, beberapa waktu yang lalu, tahun 2018, di Bali diselenggarakan simposium tentang pro dan kontra. Ini menunjukkan bahwa masih belum ada kesepakatan dari banyak ahli-ahli tentang obat kanabis sebagai obat anti epilepsi," kata Aris. []

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya