Pilihan Selasa, 22 November 2022 | 13:11

Opini: Pengembangan Mediasi HAM di Tengah Tuntutan Reformasi Birokrasi

Lihat Foto Opini: Pengembangan Mediasi HAM di Tengah Tuntutan Reformasi Birokrasi Wahyu Pratama Tamba. (Foto: Facebook)
Editor: Tigor Munte

Oleh: Wahyu Pratama Tamba*

Komnas HAM RI dengan empat mandat kewenangannya, antara lain mediasi; pendidikan dan penyuluhan; pengkajian dan penelitian; dan pemantauan menjadi tumpuan harapan penegakan dan pemajuan hak asasi manusia. 

Bagi Negara, Komnas HAM dijadikan sebagai lembaga yang independen dan mandiri untuk menghadirkan kebenaran yang objektif, dan bagi warga negara sebagai corong pengingat negara agar menghadirkan HAM bagi warga negara.  

Mediasi HAM dan Jabatan Fungsional Mediasi HAM

Di dalam perjalanannya sejak dibentuk Presiden Soeharto pada 7 Juni 1993 hingga hari ini, empat fungsi itu mengisi ruang-ruang kehidupan negara. 

Utamanya untuk kepentingan perlindungan hak asasi setiap warga negara. Dalam pelaksanaan fungsi mediasi, sesuai dengan ketentuan Pasal 89 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Komnas HAM bertugas dan berwenang untuk melakukan: 

1.Perdamaian kedua belah pihak; 

2.Penyelesaian perkara melalui cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli; 

3.Pemberian saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan; 

4.Penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada Pemerintah untuk ditindaklanjuti penyelesaiannya; dan 

5.Penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk ditindaklanjuti. 

Fungsi mediasi HAM sebagai salah satu fungsi lembaga, di dalam dua tahun terakhir menunjukkan pengembangan yang progresif, sejalan dengan perintah presiden untuk reformasi birokrasi dan produktivitas aparatur negara. 

Hal ini ditandai dengan pembentukan jabatan fungsional mediasi HAM, diberikan nama Penata Mediasi Sengketa HAM, sebagaimana Peraturan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2021 (Permenpan RB Nomor 12 Tahun 2021), yang ditetapkan pada 30 Maret 2021. 

Kehadiran jabatan fungsional bidang mediasi HAM ini merupakan buah kerja keras lembaga Komnas HAM terutama internal unit mediasi itu sendiri. 

Proses yang butuh waktu bertahun-tahun hingga disetujui oleh pemerintah, dalam hal ini Kemenpan RB. Sejak 1 April 2022, Komnas HAM RI resmi memiliki para fungsional yang mengemban jabatan disertai tugas dan kewenangan. 

Secara substansi kerja mendukung pelaksanaan fungsi lembaga bersama Anggota/ Komisioner Komnas HAM dan secara kepegawaian bertanggung jawab langsung kepada Pejabat Tinggi Pratama (eselon II). 

Perintah Presiden untuk Reformasi Birokrasi

Terbentuknya Permenpan RB Nomor 12 Tahun 2021 tidak bisa dilepaskan dari agenda reformasi birokrasi yang diperintahkan Presiden Joko Widodo. 

Saat pelantikan dirinya sebagai Presiden RI periode 2019-2024, Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato, disampaikan lima agenda besar untuk dibenahi dan diselesaikan selama lima tahun di masa kepemimpinannya. 

Salah satu amanat Presiden Joko Widodo saat itu adalah penyederhanaan birokrasi yang akan dilakukan secara besar-besaran.  

"Investasi untuk penciptaan lapangan kerja harus diprioritaskan. Prosedur yang panjang harus dipotong. Birokrasi yang panjang harus kita pangkas. Eselonisasi harus disederhanakan. Eselon I, eselon II, eselon III, eselon IV, apa enggak kebanyakan? Saya akan minta untuk disederhanakan menjadi dua level saja, diganti dengan jabatan fungsional yang menghargai keahlian, menghargai kompetensi. Saya juga minta kepada para menteri, para pejabat, para birokrat, agar serius menjamin tercapainya tujuan program pembangunan. Bagi yang tidak serius, saya tidak akan memberi ampun. Saya pastikan, sekali lagi saya pastikan, pasti saya copot". 

Perintah Presiden Jokowi tersebut kemudian dilaksanakan oleh menteri terkait selaku pembantu presiden. Pada periode ke-2 Presiden Joko Widodo, berbagai kementerian/lembaga menyederhanakan struktur lembaga dan jabatan, secara perlahan eselon 3 dan eselon 4 dihapuskan kemudian dialihkan menjadi pejabat fungsional melalui penyetaraan. 

Baca juga:

Komnas HAM Soroti Kultur Penyiksaan di Polri Saat Serahkan 5 Rekomendasi ke Mahfud

Tentu perubahan itu tidak serta merta dapat diterima, terutama bagi ASN yang mendapuk jabatan eselon dimaksud. Untuk meredam gejolak masif itu, dibentuklah koordinator dan subkoordinator sebagai fungsi tambahan yang diberikan kepada pejabat struktural eselon III dan eselon IV (pejabat administrasi) yang terdampak penyetaraan dari pejabat administrasi.  

Pemberian fungsi tambahan tersebut untuk memastikan hak-hak keuangan dan fasilitas yang diterimanya tidak berkurang. 

Mundur beberapa tahun ke belakang, pada tahun 2014 terbit Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang mengusung prinsip-prinsip new public management (NPM) dengan basis pengembangan manusia dan kelas jabatan. 

Penggolongan jabatan bagi PNS pun diubah menjadi jabatan administrasi, jabatan fungsional dan jabatan pimpinan tinggi, dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) untuk kalangan di luar PNS. 

Hadirnya UU ASN untuk menguatkan paradigma ASN, dengan apapun jabatan dan kelas jabatannya merupakan pelayan publik yang orientasinya capaian hasil kerja. 

Undang-Undang ASN itu diikuti dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2020 tentang perubahan atas PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS, Permenpan RB Nomor 1 Tahun 2021 tentang Penyetaraan jabatan, dan Permenpan RB Nomor 7 Tahun 2022 tentang Sistem Kerja pada Instansi Pemerintah untuk Penyederhanaan Birokrasi, yang ditetapkan pada 10 Februari 2022. 

Seluruh aturan pasca terbitnya UU ASN tersebut semakin mempertegas perintah Presiden Joko Widodo tentang Penyederhanaan Birokrasi. 

Di dalam Permenpan RB Nomor 7 Tahun 2022 tidak lagi menggunakan terminologi koordinator dan subkoordinator. 

Pada Pasal 26 Permenpan RB Nomor 7 Tahun 2022 ditegaskan bahwa "Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, ketentuan mengenai peran koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 17 Tahun 2021 tentang Penyetaraan Jabatan Administrasi ke dalam Jabatan Fungsional (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 525), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku". 

Permenpan RB Nomor 7 Tahun 2022 tentang Sistem Kerja pada Instansi Pemerintah untuk Penyederhanaan Birokrasi mengatur mekanisme kerja baru, yaitu dengan adanya tim kerja di unit organisasi, yang juga memberikan kesempatan terbuka untuk kerja kolaborasi lintas unit organisasi. 

Tim kerja dibentuk oleh pimpinan unit organisasi dengan mempertimbangkan kompetensi, keahlian dan/ atau keterampilan dan mengedepankan profesionalisme, kompetensi, dan kolaborasi.

Menguatkan Semangat Reformasi Presiden

Di masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo periode 2019-2024, Komnas HAM berupaya untuk mengurus terbentuknya jabatan fungsional di bidang mediasi HAM, lalu pada tahun 2021 resmi terbentuk jabatan fungsional Penata Mediasi Sengketa HAM, ditandai dengan terbitnya Permenpan RB Nomor 12 Tahun 2021. 

Keistimewaan jabatan fungsional mediasi sebagaimana bunyi Pasal 1 Ayat 20 bahwa Instansi Pembina Jabatan Fungsional Penata Mediasi Sengketa HAM yang selanjutnya disebut dengan Instansi Pembina adalah Sekretariat Jenderal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Segala hal teknis terkait pengembangan dan lainnya ditetapkan oleh Setjen Komnas HAM. 

Hal penting yang menjadi catatan, bahwa konsep kerja reformasi birokrasi ASN dituntut untuk meninggalkan cara-cara lama. Birokrasi yang mengedepankan profesionalisme, kompetensi keahlian, dan kolaborasi, dengan berorientasi pada produktivitas hasil capaian kinerja dan peningkatan kualitas layanan publik.

Masa depan fungsional Mediasi Hak Asasi Manusia selain bersandar pada Permenpan jabatan fungsional itu sendiri (Permenpan No. 12 Tahun 2021), tentu harus selaras dengan semangat birokrasi dimaksud. Bermula dari perintah Presiden Joko Widodo, kemudian diterjemahkan ke dalam segala aturan, peraturan dan kebijakan kementerian terkait. 

Pelaksanaan penyetaraan jabatan dan penyederhanaan organisasi dilakukan untuk efisiensi dan efektifitas organisasi agar pencapaian tujuan organisasi lebih cepat dan optimal. 

Meskipun hingga saat ini, para pejabat fungsional tersebut belum menerima hak tunjangan jabatan fungsional sejak dilantik awal April 2022, hal ini karena sedang berproses di Kemenpan RB dan instansi terkait lainnya. 

Paling tidak, setiap apapun yang dikerjakan di unit organisasi harus memberikan dampak manfaat kepada penerima layanan (masyarakat/pengadu) dalam rangka pemenuhan dan penegakan Hak Asasi Manusia. 

Selain itu, setiap aktivitas pekerjaan fungsional dihargai Negara lewat penghitungan angka kredit. Angka kredit kumulatif tersebut berguna untuk kenaikan golongan ruang dan kenaikan jenjang jabatan fungsional (Ahli Pertama, Ahli Muda dan Ahli Madya). []

*Penulis adalah Fungsional Penata Mediasi Sengketa HAM Ahli Muda Komnas HAM RI.  

 

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya