Hukum Rabu, 09 November 2022 | 11:11

Organisasi Advokat Ingatkan Pemerintah soal Partisipasi Publik pada Materi RKUHP

Lihat Foto Organisasi Advokat Ingatkan Pemerintah soal Partisipasi Publik pada Materi RKUHP Ilustrasi RKUHP. (Foto: Ist)
Editor: Tigor Munte

Jakarta - Tiga organisasi advokat di Indonesia merespons soal pembahasan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang segera disahkan Pemerintah dan DPR pada November 2022. 

Ketiga organisasi advokat dimaksud, yakni Peradi, KAI, dan Peradi SAI memandang bahwa dalam draf RKUHP terbaru per 9 November 2022 masih belum mengakomodir rekomendasi yang disampaikan sebelumnya pada Agustus 2022, khususnya mengenai pasal-pasal yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas advokat. 

Oleh karenanya, ketiga organisasi advokat dalam keterangan pers bersama pada Rabu, 9 Oktober 2022, meminta Pemerintah dan DPR memastikan proses pembahasan RKUHP di DPR dalam masa sidang dapat menggambarkan partisipasi publik yang nyata, utamanya datang dari bagian peradilan yaitu advokat.

Ketiga organisasi advokat sebelumnya menyelenggarakan Seminar Nasional Organisasi Advokat untuk memberikan masukan kepada DPR dan Pemerintah terkait RKUHP pada 3 Agustus 2022 dengan mengundang Wakil Menteri Hukum dan HAM RI, Prof. Eddy Hiariej, hingga Wakil Ketua MPR RI dan Anggota Komisi III DPR RI, Arsul Sani.

"Di sana disampaikan secara resmi masukan terhadap draf RKUHP. Di luar itu, kami juga telah memasukkan rekomendasi kami di acara sosialisasi yang dilakukan Pemerintah di berbagai daerah," kata Luhut MP Pangaribuan selaku Ketua Umum DPN Peradi. 

Beberapa isu yang disoroti, yakni terkait pasal-pasal yang akan berdampak pada kewenangan dan tugas advokat untuk melindungi HAM kliennya, antara lain mengenai perumusan pasal obstruction of justice, perumusan pasal contempt of court (tindak pidana gangguan dan persesatan proses peradilan), dan mengenai tindak pidana jabatan terhadap proses peradilan. 

"Namun faktanya, perubahan pada draf terbaru RKUHP yang diserahkan oleh Pemerintah kepada DPR untuk dibahas pada 9 November 2022, masih belum sepenuhnya memperhatikan rekomendasi yang telah disampaikan. Meskipun kami perlu mengapresiasi Pemerintah yang sudah mengakomodir masukan kami terkait pasal contempt of court," terangnya.

Dikatakan, sebelumnya, perbuatan yang dilarang yakni “tanpa izin pengadilan merekam, mempublikasikan secara langsung, atau memperbolehkan untuk dipublikasikan proses persidangan” (Pasal 280 huruf c draf RKUHP per 4 Juli 2022), kemudian diubah sebagaimana direkomendasikan menjadi “tanpa izin pengadilan mempublikasikan proses persidangan secara langsung” (Pasal 278 huruf c draf RKUHP yang dibahas per 9 November 2022). 

Baca juga:

Tegaskan RKUHP Harus Segera Disahkan, DPR: Juga Ruang untuk Menerima Masukan Publik

Sayangnya kata Luhut, pada isu lain yang juga krusial, seperti rekomendasi perumusan pasal obstruction of justice dan tindak pidana jabatan terhadap proses peradilan, tidak ditemukan perubahan sama sekali dari draf RKUHP sebelumnya per 4 Juli 2022. 

Untuk itu menurutnya, ketiga organisasi advokat mendesak DPR dalam masa persidangan ini untuk membahas RKUHP secara substansial dan mengakomodir masukan sebagaimana yang telah disampaikan.

Diantaranya, perumusan tindak pidana obstruction of justice masih belum jelas dan tidak ketat sehingga rentan disalahgunakan oleh penegak hukum. Perumusan pasal tersebut minimal harus seketat yang diatur dalam Pasal 221 KUHP yang menempatkan ‘mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung proses peradilan’ sebagai tujuan pelaksanaan delik, bukan perbuatan, serta menyebutkan dengan jelas mengenai perbuatan-perbuatan apa saja yang termasuk dalam kategori menghalang-halangi proses peradilan.

Dalam lingkup tindak pidana obstruction of justice, perlu juga mengatur tindak pidana “rekayasa kasus” berdasarkan “rekayasa bukti” dalam persidangan, atau fabricated evidence. Ketentuan ini belum diatur dalam aturan sekarang secara spesifik. 

"Untuk melindungi kerja-kerja dari advokat dan kliennya, maka aturan ini sangat mendesak diatur untuk juga menjaga integritas peradilan pidana," tukasnya.

Kemudian, lingkup pengaturan tindak pidana jabatan terhadap proses peradilan harus meliputi perbuatan-perbuatan, antara lain pemaksaan dalam memberikan keterangan, penyiksaan demi mendapat pengakuan bersalah, penggeledahan rumah atau tubuh yang melawan hukum, penyitaan yang menyalahi ketentuan peraturan perundangan, hingga perampasan kemerdekaan seseorang secara melawan hukum.

Rekomendasi lainnya untuk pengaturan pasal contempt of court, yakni menjadikannya sebagai delik aduan yang terbatas hanya dapat diadukan oleh hakim yang memimpin persidangan masih belum diakomodir. 

"Hal tersebut penting diatur untuk memastikan agar proses dalam persidangan tidak diintervensi oleh para pihak di luar atau di dalam persidangan yang menyasar pihak-pihak tertentu dalam persidangan," kata Luhut. []

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya