Pematang Siantar - Kota Pematang Siantar, Sumatra Utara, memiliki derajat kepanasan yang unik dari sisi politik.
Disebut begitu, karena wali kotanya berganti menerima deraan hukum, politik, hingga berpulang.
Menjadi catatan sejarah, dua wali kota masuk penjara, dua meninggal dunia sebelum dilantik dan dua coba dimakzulkan oleh DPRD-nya.
Ini selengkapnya cerita Wali Kota Pematang Siantar.
1. Pidana
Ada dua Wali Kota Pematang Siantar yang masuk penjara karena terjerat kasus pidana. Pertama adalah Wali Kota Marim Purba yang menjabat periode 2000-2005.
Marim menjadi wali kota ketika itu pemilihan kepala daerah masih dilakukan oleh DPRD setempat.
Marim dipidana dua tahun terkait kasus korupsi pembangunan kios darurat di Jalan Merdeka, Kota Pematang Siantar, pasca kebakaran Pasar Horas pada 12 Januari 2002.
Marim menjalani pidana sejak Jumat, 2 Desember 2005 di Lapas Pematang Siantar. Marim tentu kini sudah bebas, dan menjadi warga negara yang baik.
Lalu Wali Kota Robert Edison Siahaan. Wali kota periode 2005-2010 hasil pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat.
Pria yang karib disebut RE Siahaan itu dijatuhi hukuman delapan tahun penjara, karena dinilai bersalah mengkorupsi dana APBD Kota Pematang Siantar sebesar Rp 10,3 miliar.
RE Siahaan divonis bersalah oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Medan pada Selasa, 6 Maret 2012.
Dinyatakan melanggar Pasal 3 Ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No 28 Tahun 2001 jo Pasal 55 KUHPidana.
Sebelumnya, RE Siahaan ditetapkan tersangka korupsi dana APBD Kota Pematang Siantar Tahun Anggaran 2007 pada 6 Februari 2011.
RE Siahaan disebut memerintahkan pemotongan anggaran Dinas Pekerjaan Umum Kota Pematang Siantar. Dia juga dinilai telah menggunakan dana bantuan sosial untuk kepentingan pribadi.
Pria yang pernah menjadi Ketua Partai Demokrat Pematang Siantar itu kini juga sudah bebas dan menjadi warga negara yang baik.
2. Meninggal Dunia
Kota Pematang Siantar menerima kenyataan dua kali wali kotanya, persisnya wali kota terpilih pasca pilkada, meninggal sebelum dilantik.
Pertama adalah Hulman Sitorus. Wali Kota Pematang Siantar periode 2010-2105 ini meninggal saat dirinya sudah dinyatakan sebagai wali kota terpilih untuk periode kedua.
Hulman berpasangan dengan Hefriansyah maju dalam Pilkada 2016.
Mereka dinyatakan menang oleh KPU Kota Pematang Siantar lewat penetapan di dalam rapat pleno terbuka di Hotel Sapadia Pematang Siantar pada Kamis, 15 Desember 2016.
BACA JUGA: Wali Kota Susanti Dewayani Digoyang, Suaminya Dituduh Calo Jabatan di Pemko Siantar
Surat keputusan (SK) penetapan pasangan terpilih diserahkan kepada pemenang, termasuk Partai Demokrat yang mengusung mereka saat itu.
Hulman selaku wali kota terpilih meninggal dunia pada Kamis, 8 Desember 2016 dini hari di Rumah Sakit Vita Insani Pematang Siantar. Hulman meninggal karena sakit.
Dia dimakamkan di Pekuburan Umum Kampung Kristen, Kota Pematang Siantar.
Pada perkembangan selanjutnya, Hefriansyah naik menjadi Wali Kota Pematang Siantar periode 2017-2022.
Insiden mirip dialami oleh Asner Silalahi. Maju Pilkada 2020 bersama Susanti Dewayani, Asner-Susanti menang melawan kotak kosong.
Asner-Susanti memborong delapan partai politik yang punya kursi di DPRD Kota Pematang Siantar, yang kemudian mengusung mereka ke Pilkada 2020.
KPU Pematang Siantar menetapkan Asner Silalahi-Susanti Dewayani sebagai Wali Kota dan Wakil Wali Kota terpilih dalam Pilkada 2020 pada Kamis, 21 Januari 2021.
Asner meninggal pada Rabu, 13 Januari 2021 di RS Columbia, Kota Medan dan dimakamkan di Huta Turunan, Bah Sampuran, Kabupaten Simalungun.
Asner meninggal karena sakit dan bukan karena Covid-19 sebagaimana pengakuan keluarga. Saat itu pandemi Covid-19 menyerang dunia termasuk Indonesia.
Dalam perkembangan berikutnya, Susanti naik menjadi Wali Kota Pematang Siantar sejak 22 Agustus 2022.
3. Pemakzulan
Ada dua Wali Kota Pematang Siantar yang mendapat gerakan politik pemakzulan dari DPRD Kota Pematang Siantar.
Pertama adalah Wali Kota Hefriansyah. Dia dimakzulkan DPRD setempat lewat rapat paripurna pada Jumat, 28 Februari 2020.
Sebanyak 27 dari 30 anggota DPRD hadir dalam rapat paripurna pemakzulan tersebut.
Hefriansyah dinilai tidak memberikan manfaat kepada masyarakat dan terindikasi merugikan keuangan negara.
Sebanyak 22 anggota DPRD setuju pemberhentian Hefriansyah sebagai Wali Kota Pematang Siantar. Sisanya setuju hak menyatakan pendapat.
Keputusan politik DPRD Pematang Siantar itu kemudian diserahkan kepada Mahkamah Agung (MA) untuk diputus apakah Hefriansyah dapat diberhentikan atau tidak dari jabatannya.
Sejumlah hal yang membuat Hefriansyah dimakzulkan dewan, diantaranya buntut pemindahan, pengangkatan, dan pergantian ASN di Pemko Pematang Siantar.
Bobroknya pengelolaan dua perusahaan daerah, yaitu PD PAUS dan PD Pasar Horas Jaya, penggunaan Lapangan Haji Adam Malik dan Gedung Olahraga (GOR) yang tidak sesuai dengan Perda Nomor 5 Tahun 1989.
BACA JUGA: Dua Walkot Siantar Masuk Bui Gara-Gara Fee Proyek, Piliaman: KW Gak Ada? Saya Skeptis
Terbitnya Perwal Nomor 1 Tahun 2018 tentang pergeseran anggaran sebesar Rp 46 miliar sehingga menjadi temuan BPK, dan penyelewengan pembangunan Tugu Sang Naualuh yang mangkrak.
MA akhirnya menolak usulan pemakzulan Wali Kota Pematang Siantar Hefriansyah di mana perkara tersebut diputus MA pada 16 April 2020.
Hakim yang memutus adalah Irfan Fachruddin, Yosran dan Yulius.
Sebelumnya, DPRD sempat akan memakzulkan Hefriansyah atas dugaan penistaan suku Simalungun pada 2018 lalu.
DPRD setempat pada 25 April 2018 membentuk panitia khusus hak angket.
Panitia Angket DPRD setelah bekerja mengusulkan Hefriansyah dimakzulkan atau diberhentikan dari jabatan sebagai Wali Kota Pematang Siantar.
Panitia Angket DPRD menyebutkan telah menemukan pelanggaran yang dilakukan Hefriansyah terhadap peraturan perundang-undangan.
Di antaranya pelanggaran UU No 40/2008, tentang Penghapusan Diskriminasi dan Etnis. Pelanggaran KUHPidana yakni Pasal 157 dan Pasal 310 Ayat (2). Tidak melaksanakan UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Namun hasil pekerjaan panitia angket kala itu, 28 Agustus 2018, tidak diparipurnakan oleh DPRD Pematang Siantar.
Pemakzulan kembali dialami oleh Wali Kota Susanti Dewayani. DPRD membentuk panitia angket pada 30 Januari 2023.
Penggunaan hak angket katanya karena Susanti mengangkat dan memberhentikan PNS dari jabatan diduga melanggar sejumlah UU.
Setelah bekerja, panitia angket menyerahkan hasilnya pada Kamis, 16 Maret 2023.
Panitia angket mengusulkan Susanti Dewayani diberhentikan atau dimakzulkan dari jabatan Wali Kota Pematang Siantar.
BACA JUGA: Melongok Harta Kekayaan Pejabat, Termasuk Wali Kota Siantar Susanti Dewayani
Salah satu pelanggaran yang dilakukan Susanti menurut panitia angket, karena melakukan pelantikan/pemberhentian 88 ASN pejabat eselon di Pemko Pematang Siantar pada 2 September 2022.
Nasib Susanti masih akan ditentukan setelah rekomendasi disetujui mayoritas anggota DPRD dan diteruskan ke Mahkamah Agung, untuk dilihat apakah pemakzulan akan disetujui atau tidak.
4. Aktif/Non Aktif
Wali Kota Pematang Siantar Marim Purba juga pernah mengalami insiden nonaktif-aktif semasa menjabat.
Marim pada Selasa, 22 Februari 2005 pernah menerima surat keputusan penonaktifan dari Menteri Dalam Negeri M. Ma`ruf kala itu.
Marim ketika itu tersangkut kasus korupsi yang tengah diproses aparat hukum.
Penonaktifan itu kedua kali diterima Marim. SK Penonaktifan diserahkan Gubernur Sumut HT Rizal Nurdin.
Marim dilantik sebagai wali kota pada 2 Juni 2000. Pertama kali dinonaktifkan oleh Mendagri Hari Sabarno pada 6 Oktober 2003.
Penonaktifan ini terkait proses pemeriksaan dan persidangan kasus korupsi pembangunan kembali Pasar Horas.
Setelah ia divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Pematang Siantar statusnya sebagai wali kota dipulihkan oleh Mendagri Hari Sabarno dengan SK Mendagri No.131.222-682/2004 tertanggal 4 Oktober 2004.
Karena jaksa penuntut umum mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, Mendagri M. Ma`ruf kembali menonaktifkan Marim.
Menteri Ma`ruf melalui SK No.131.22-66/ 2005 tertanggal 11 Februari 2005 itu menyatakan membatalkan SK Mendagri No.131.222-682/2004 tentang Pengaktifan Kembali Marim Purba dengan alasan SK tersebut mengandung kekeliruan hukum. [berbagai sumber]