News Selasa, 16 Juli 2024 | 14:07

Pdt Penrad Siagian: Hentikan Revisi UU TNI, DPR Jangan Khianati Reformasi!

Lihat Foto Pdt Penrad Siagian: Hentikan Revisi UU TNI, DPR Jangan Khianati Reformasi! Anggota DPD RI Terpilih, Pdt Penrad Siagian. (Foto:Istimewa)

Jakarta - Anggota DPD RI Terpilih, Pdt Penrad Siagian menyoroti tentang revisi Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI).

Penrad menyebut, menelaah masukan dari kalangan masyarakat sipil mengenai hal tersebut, terdapat pasal yang akan membahayakan kehidupan demokrasi, negara hukum dan pemajuan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia.

Dengan tegas, ia meminta agar DPR RI dapat memperhatikan poin-poin penting terkait revisi UU itu.

Senator terpilih asal Sumatra Utara (Sumut) ini berpandangan, substansi perubahan usulan pemerintah tidak memperkuat agenda reformasi TNI untuk semakin profesional, malah sebaliknya sejumlah usulan perubahan memundurkan kembali agenda reformasi TNI.

Oleh sebab itu, aktivis 98 ini mengemukakan beberapa alasan menyoal pentingnya evaluasi terhadap rencana revisi UU TNI.

Yang pertama, kata Penrad, tidaklah tepat revisi UU TNI yang memperluas fungsi TNI mencakup keamanan negara.

Penambahan fungsi militer sebagai alat keamanan negara sama saja memberikan keleluasaan kepada militer masuk dalam urusan keamanan dalam negeri.

"Hal ini berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM dan mengembalikan militer seperti di masa rezim Orde Baru," kata Penrad dalam keterangan tertulisnya, Selasa, 16 Juli 2024.

Kedua, pencabutan kewenangan Presiden untuk pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI. Dia menyebut bahwa ketentuan tentang kewenangan Presiden tersebut seharusnya tidak boleh dicabut.

Sebab, dalam Pasal 10 Undang-undang Dasar (UUD) 1945 Hasil Amandemen menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara.

Dalam kedudukannya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi angkatan bersenjata, Pasal 14 UU No. 3 Tahun 2022 tentang Pertahanan Negara menegaskan Presiden berwenang dan bertanggungjawab atas pengerahan kekuatan TNI.

"Menghapus kewenangan Presiden berbahaya karena menempatkan pengerahan dan penggunaan TNI di luar persetujuan dan kontrol Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan," ujarnya.

"Hal ini melanggar prinsip supremasi sipil sebagai prinsip dasar dalam negara demokrasi dalam menata hubungan sipil-militer yang demokratis," sambung Penrad Siagian.

Poin ketiga, perluasan keterlibatan peran TNI di luar sektor pertahanan negara dengan dalih Operasi Militer Selain Perang (OMSP) juga dipermudah, mengingat adanya usulan perubahan bahwa dalam pelaksanaannya diatur dengan peraturan pemerintah (PP), tidak lagi berdasarkan keputusan politik negara, termasuk dalam hal ini otoritas DPR.

"Jika usulan perubahan ini disetujui, hal ini berbahaya karena menempatkan pengerahan dan penggunaan pasukan TNI dalam konteks OMSP tidak bisa dikontrol dan diawasi oleh DPR," ucapnya.

Selanjutnya, pada poin keempat, Penrad menyebut perluasan usulan perubahan yang memberikan ruang bagi TNI untuk dapat menduduki jabatan sipil yang lebih banyak dan lebih luas sebagaimana tercantum dalam draft RUU Pasal 47 poin 2 dapat membuka ruang kembalinya Dwi fungsi ABRI.

Upaya perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh perwira TNI aktif dalam draft revisi UU TNI dapat membuka ruang baru bagi TNI untuk berpolitik.

Penrad menegaskan bahwa hal ini tentunya menjadi kemunduran jalannya reformasi dan proses demokrasi tahun 1998 di Indonesia yang telah menempatkan militer sebagai alat pertahanan negara.

"Penempatan militer di luar fungsinya sebagai alat pertahanan negara hanya akan melemahkan profesionalisme militer itu sendiri," tuturnya.

Kelima, usulan perubahan Pasal 65 ayat 2 UU TNI yang menyatakan bahwa prajurit tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan hukum pidana umum, bertentangan dengan semangat dan agenda reformasi TNI tahun 1998.

Lantas ia memberikan catatan bahwa reformasi sistem peradilan militer merupakan salah satu agenda reformasi TNI yang telah dimandatkan dalam Pasal 3 ayat (4) TAP MPR No. VII tahun 2000 dan Pasal 65 ayat (2) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.

Kedua dasar hukum tersebut, sambungnya, mengamanatkan bahwa prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan Peradilan Militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan Peradilan Umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum.

Penrad menuturkan pelaksanaan agenda tersebut sangat penting, tidak hanya sebagai bentuk implementasi prinsip equality before the law sebagai salah satu prinsip penting negara hukum, tapi juga untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas, termasuk mencegah impunitas terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana umum.

"Keenam, usulan revisi UU TNI juga meliputi perubahan anggaran TNI berasal dari APBN tidak terbatas pada anggaran pertahanan. Hal ini dapat dilihat pada usulan perubahan ketentuan Pasal 66 ayat 1 UU TNI dari yang sebelumnya menyatakan TNI dibiayai dari `anggaran pertahanan negara` yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara menjadi `TNI dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara`," katanya.

Dia menjelaskan perubahan ini menunjukkan akan ada pos anggaran baru bagi TNI di luar anggaran pertahanan dan juga dilangkahinya kewenangan Kementerian Pertahanan (Menhan).

Hal ini, lanjutnya, membuka ruang anggaran non-budgeter yang dulu pernah ada dan dihapuskan karena rawan penyimpangan.

"Pengalaman traumatik di era rezim otoriter Orde Baru memberi kita pelajaran penting untuk menjaga supremasi sipil di era demokrasi agar negara tidak jatuh kembali ke dalam pengalaman pahit," ujarnya.

Lebih lanjut, ia meminta pemerintah dan DPR RI untuk tidak melanjutkan agenda revisi UU TNI, dan jangan mengkhianati reformasi, selain tidak urgen untuk dilakukan saat ini, sejumlah substansi usulan perubahan juga membahayakan kehidupan demokrasi, negara hukum dan pemajuan HAM.

"Lebih baik pemerintah fokus pada urusan penuntasan reformasi TNI yang tertunda, seperti reformasi sistem peradilan militer dan restrukturisasi komando teritorial (Koter), serta evaluasi dan koreksi secara menyeluruh terhadap penyimpangan tugas pokok TNI," ucap Pdt Penrad Siagian.[]

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya