News Sabtu, 01 Maret 2025 | 22:03

Pdt. Penrad Siagian: PT TPL Harus Diaudit, Dampak Sosial dan Lingkungan Tak Boleh Diabaikan!

Lihat Foto Pdt. Penrad Siagian: PT TPL Harus Diaudit, Dampak Sosial dan Lingkungan Tak Boleh Diabaikan! Anggota DPD RI, Pdt. Penrad Siagian dan Ketua Komunitas Adat, Ompu Umbak Siallagan atau Sorbatua Siallagan. (Foto:Opsi/Fernandho Pasaribu)

Toba – Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Pdt. Penrad Siagian, menghadiri acara doa bersama bertajuk "Merawat Alam Tano Batak" yang digelar di Kabupaten Toba, Sumatra Utara (Sumut), pada Sabtu, 1 Maret 2025.

Doa bersama yang dipimpin oleh Pimpinan Tertinggi atau Ephorus Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Pdt. Victor Tinambunan ini dihadiri berbagai pimpinan gereja, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan masyarakat sipil.

Hadir juga Sekretaris Umum (Sekum) Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Pdt. Darwin Dharmawan yang juga mewakili seluruh gereja-gereja di Indonesia.

Dalam sambutannya, Penrad Siagian menegaskan bahwa perampasan tanah di wilayah Tano Batak bukan hal baru dan telah berlangsung sejak lama.

Ia menyatakan telah menyaksikan sendiri perjuangan masyarakat dalam menghadapi konflik agraria.

“Perampasan-perampasan tanah itu sudah sejak awal dilakukan, dan gerakan perlawanan ini saya saksikan sendiri karena saya bagian dari perjuangan itu. Karena itu, yang harus kita lakukan adalah membangun jejaring gerakan, sebab dalam konflik seperti ini rakyat selalu menjadi korban,” ujarnya.

Ia menyoroti ketimpangan kekuatan antara masyarakat dan korporasi.

Menurutnya, masyarakat yang memiliki keterbatasan dalam aspek pengetahuan, jaringan, dan kuasa, sering kali kalah ketika berhadapan dengan perusahaan besar.

“Satu-satunya cara memenangkan perjuangan ini adalah membangun jaringan gerakan yang kuat. Perpindahan lokasi ibadah ini adalah bukti adanya relasi kuasa yang memaksa masyarakat berpindah lokasi ibadah. Ini relasi kuasa yang nyata!” tegasnya.

Dalam sesi wawancara, Penrad Siagian mengungkapkan keharuannya melihat perlawanan terhadap PT TPL kembali menguat dengan hadirnya berbagai pemimpin gereja, organisasi non-pemerintah (NGO), dan masyarakat sipil.

“Saya sangat bangga dan bahagia. Gerakan melawan PT TPL ini hidup kembali. Ini adalah kebangkitan baru perlawanan terhadap kezaliman yang sudah berlangsung puluhan tahun. Saya melihat harapan itu tumbuh kembali,” katanya.

Ia juga menegaskan komitmennya untuk membawa persoalan ini ke tingkat nasional.

Menurutnya, pemerintah harus transparan terkait konsesi PT TPL karena banyak desa tiba-tiba diklaim masuk dalam wilayah konsesi tanpa kejelasan batasnya.

“Saya sudah meminta kepada pemerintah agar transparan soal konsesi ini. Kita tidak tahu batas-batasnya. Tiba-tiba satu desa dianggap bagian dari konsesi. Ini harus dihitung ulang agar tidak menimbulkan konflik berkepanjangan,” ujarnya.

Selain itu, Penrad Siagian mendesak agar dilakukan audit sosial dan lingkungan terhadap PT TPL.

Ia menyoroti dampak sosial yang ditimbulkan akibat keberadaan perusahaan tersebut, termasuk jatuhnya korban jiwa.

“Kerusakan sosial sudah terjadi, seperti yang dialami Sorbatua (Ketua Komunitas Adat, Ompu Umbak Siallagan atau Sorbatua Siallagan). Ini harus diaudit! Negara harus menjamin hak warga untuk hidup di atas tanah mereka sendiri, sebagaimana dijamin dalam konstitusi,” katanya.

Ia juga meminta agar konsesi PT TPL dirasionalisasi dengan mempertimbangkan klaim masyarakat. Katanya, konflik akan terus terjadi jika klaim masyarakat tidak diakui dan tidak ada kejelasan batas wilayah konsesi.

“Saya sudah menjadwalkan pembahasan ini dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di DPD RI. Kita akan undang PT TPL, pemerintah, dan masyarakat yang tentunya akan menjadi bagian dari RDPU,” tegasnya.

Terkait gangguan terhadap ibadah, termasuk pemindahan lokasi acara, Penrad Siagian mengaku heran dan mengecam keras jika benar ada campur tangan PT TPL dalam hal ini.

“Kalau benar PT TPL menggerakkan ini, maka ini sudah keterlaluan! Sebelum acara, saya sudah menelepon Kapolres Toba dan Camat untuk meminta jaminan agar lokasi ibadah tidak dipindahkan. Mereka sudah memberi jaminan, tetapi tetap terjadi perpindahan. Saya tidak tahu tekanan apa yang memaksa ini terjadi,” katanya.

Ia memperingatkan bahwa tindakan seperti ini berbahaya secara sosial, politik, dan kultural, terutama di wilayah Tano Batak yang memiliki ikatan kuat dengan gereja.

“Di Tano Batak, mengganggu pimpinan gereja itu sangat berbahaya. Jangan sampai ini memicu respons di luar kendali yang bisa berdampak luas,” tegasnya.

Ia pun mengingatkan semua pihak, termasuk kepolisian dan pemerintah, untuk lebih bijak dalam menangani konflik ini agar tidak memicu ketegangan yang lebih besar di tengah masyarakat.[]

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya