Jakarta - Satuan Reskrim Polrestabes Medan berhasil menangkap enam pelaku komplotan perampok bersenjata api yang aksinya viral di media sosial.
Salah satu di antaranya bernama Bima alias Jarot, yang merupakan pelaku utama diberi tindakan tegas terukur atau ditembak mati.
Jarot disebut berupaya kabur saat ditangkap dan melawan petugas dengan menggunakan senjata air softgun dan sebilah parang hingga melukai salah seorang Tim Jatanras.
Komplotan ini sudah beraksi melakukan kejahatan sebanyak delapan kali selama beberapa bulan di Kota Medan, Sumatra Utara.
Wali Kota Medan Bobby Nasution melalui media sosial mengapresiasi Polrestabes Medan berhasil menembak mati pelaku kejahatan begal.
Institute for Criminal Justice Reform atau ICJR pun merespons pernyataan Bobby dan juga tindakan kepolisian.
Peneliti ICJR Girlie Aneira Ginting dalam keterangan pers tertulis pada Selasa, 11 Juli 2023 mengingatkan aparat kepolisian untuk tetap mematuhi peraturan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian yang diatur dalam secara rinci dalam Peraturan Kepolisian Nomor 1 Tahun 2009 (Perkap 1/2009).
Menurut dia, peraturan ini menjadi pedoman bagi aparat kepolisian dalam pelaksanaan tindakan kepolisian yang memerlukan penggunaan kekuatan, sehingga terhindar dari penggunaan kekuatan yang berlebihan atau tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Dia kemudian menjelaskan sesuai aturan tersebut, dalam situasi-situasi apa upaya penembakan dapat dilakukan dan prinsip dasar penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian.
Girlie menyebut, pertama pada Pasal 5 ayat (1) Perkap 1/2009 menjelaskan bahwa sebelum melakukan penembakan dengan senjata api, aparat wajib mengupayakan terlebih dahulu enam tahapan tindakan.
Di antaranya kekuatan yang memiliki dampak pencegahan, perintah lisan, penggunaan kekuatan dengan tangan kosong lunak kemudian diikuti dengan tangan kosong keras, penggunaan senjata tumpul, hingga penggunaan senjata kimia seperti gas air mata atau semprotan cabe.
"Ketika upaya-upaya tersebut tersebut telah dilakukan namun tidak berhasil, aparat kepolisian baru diperbolehkan menggunakan senjata api atau alat lain dengan tujuan untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan," jelasnya.
Kedua, penembakan dengan senjata api dapat dilakukan tanpa peringatan atau perintah lisan namun hanya dalam keadaan apabila terdapat ancaman yang bersifat segera yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian anggota polisi atau masyarakat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 8 ayat (3) Perkap 1/2009.
Kemudian, Pasal 7 ayat (2) huruf d juga menyatakan penggunaan senjata api oleh aparat tersebut untuk mengantisipasi tindakan pelaku kejahatan atau tersangka yang dapat menimbulkan bahaya terhadap keselamatan umum, seperti membakar stasiun pompa bensin, meledakkan gardu listrik, meledakkan gudang senjata/amunisi, atau menghancurkan objek vital.
Melihat ketentuan di atas ujar dia, dapat dipahami bahwa penggunaan kekuatan senjata api dalam tindakan kepolisian menjadi upaya yang paling terakhir (last resort) dan sifatnya adalah untuk melumpuhkan bukan mematikan.
BACA JUGA: Bobby Nasution Setuju Tembak Mati Begal Ganas di Medan
"Upaya penggunaan senjata api, aparat harus tetap memperhatikan ketentuan bahwa tidak ada alternatif lain yang beralasan dan masuk akal (reasonable) untuk menghentikan tindakan/perbuatan pelaku tersebut atau untuk mencegah larinya pelaku kejahatan atau tersangka yang merupakan ancaman segera terhadap jiwa anggota Polri atau masyarakat," tuturnya.
Lebih lanjut kata dia, ICJR mengingatkan bahwa tembak mati pelaku kejahatan yang merupakan extrajudicial killing atau pembunuhan di luar putusan pengadilan pada prinsipnya merupakan pelanggaran serius terhadap hak-hak tersangka atau orang-orang yang diduga melakukan tindak pidana yang dijamin secara sah oleh peraturan perundang-undangan.
Setiap pelaku kejahatan atau tersangka termasuk yang statusnya residivis pun menurut Girlie, memiliki hak untuk dapat diadili secara adil dan berimbang serta menyampaikan pembelaan atas perbuatan yang dituduhkan terhadapnya.
"Namun hak-hak tersebut menjadi tidak dapat berikan jika sebelum diajukan ke persidangan mereka telah meninggal dunia karena ditembak mati, sehingga perkaranya pun menjadi gugur," terangnya.
Ingatkan Bobby
Merujuk pernyataan Wali Kota Medan Bobby Nasution yang mendorong polisi melakukan tembak mati terhadap pelaku begal ganas, ICJR kemudian meminta menantu Presiden Jokowi itu berhati-hati bicara tembak mati pelaku kejahatan.
Menurut Girlie, dorongan demikian dari kepala daerah dapat mengakibatkan situasi pelanggaran HAM yang serius dari mulai masalah prosedur sampai dengan salah sasaran.
ICJR juga meminta Wali Kota Bobby untuk mengedepankan pendekatan sistemik dalam menanggulangi kejahatan.
Wali kota memiliki tanggung jawab untuk mensejahterakan masyarakat dan melindungi hak warganya, sekalipun pelaku kejahatan.
"Untuk itu ICJR, meminta agar sekali lagi Wali Kota Medan berhati-hati menyampaikan komentar terkait tembak di tempat dan kepada aparat kepolisian agar tetap mematuhi peraturan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian yang diatur dalam secara rinci dalam Perkap 1/2009 dan meminta agar setiap pelaku kejahatan untuk diadili melalui pengadilan yang adil, berimbang dan sesuai prosedur dalam menentukan yang bersangkutan benar bersalah atau tidak," pungkasnya. []