Siantar - Lembaga Pemantau Keuangan Negara-Tim Inspeksi Pidana Korupsi Pematangsiantar (LPKN-Tipikor) melaporkan ke Polda Sumut, dugaan korupsi pembangunan gedung Pascasarjana Universitas Simalungun (USI).
Laporan disampaikan melalui Unit Tipikor Polda Sumut, oleh Ketua LPKN-Tipikor Alfian Raja Salomo Nainggolan pada Rabu, Selasa, 19 Desember 2023.
Disebutkan, sebagai bagian dari elemen masyarakat Kota Pematang Siantar, pihaknya menyampaikan laporan pengaduan atas pembangunan gedung Pascasarjana USI yang telah dikerjakan sebelumnya pada tahun anggaran 2022.
Alfian Raja Salomo Nainggolan mengatakan, sesuai UU RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHP Bab XIV Penyidikan bagian kedua pasal 106 disebutkan, penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana, wajib segera melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan
"Atas landasan hukum tersebut di atas, kami dari Lembaga Pemantau Keuangan Negara – Tim Inspeksi Pidana Korupsi (LPKN - TIPIKOR) sebagai bagian dari elemen masyarakat turut serta memantau dugaan penyalahgunaan wewenang dan penyelewengan keuangan Negara terkait kegiatan Pembangunan Gedung Pascasarjana Universitas Simalungun yang kegiatannya bersumber dari keuangan Negara," katanya dalam keterangan tertulisnya.
Dia kemudian menyampaikan indikasi dugaan penyimpangan, diantaranya telah dilaksanakan pembangunan gedung pascasarjana di Universitas Simalungun Kota Pematang Siantar T.A 2022 yang dalam Rencana Anggaran Biaya (RAB) dengan biaya sebesar Rp 3.255.000.000 dengan Penyedia Jasa, yaitu CV Rossi Ridho Konsultan.
Menurut Alfian dalam laporannya, telah dilaksanakan pembangunan gedung Pascasarjana Tahap I di Universitas Simalungun Kota Pematang Siantar dengan biaya berkisar Rp 500.000.000, yang anggarannya bersumber dari dana Hibah PTPN IV yang merupakan Badan Usaha Milik Negara.
"Kami menduga telah terjadi penyelewengan terhadap anggaran yang telah diberikan kepada kuasa pengguna anggaran (Rektor USI Tahun 2022) dalam pembangunan gedung Pascasarjana di Universitas Simalungun Kota Pematang Siantar yang dimana dalam hal ini biaya dalam pembangunan Tahap I tersebut terlalu besar dalam penggunaannya dan diduga telah terjadi tindak pidana korupsi," tuturnya.
Diungkapnya pula, bahwa sesuai hasil investigasi dan temuan di lapangan, pihaknya menduga telah terjadi penyelewengan anggaran dan adanya KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) dalam pembangunan gedung Pascasarjana USI tersebut dimana pembangunan yang telah terjadi hanyalah pekerjaan pondasi dengan taksasi biaya sekitar Rp 70.000.000.
BACA JUGA: Ada Gedung di USI Siantar Dibangun Pakai Duit PTPN IV Rp 500 Juta, Hasilnya Hanya Pondasi
Alfian menyebut, LSMnya sebelumnya telah menyampaikan surat klarifikasi ke Yayasan Universitas Simalungun untuk meminta dilakukan evaluasi ulang terhadap perhitungan biaya yang dilakukan sebelumnya pada Tahap I pembangunan gedung Pascasarjana di Universitas Simalungun Kota Pematang Siantar, dimana dana Tahap I diduga telah disalurkan sebesar Rp 500.000.000 dari dana bantuan CSR PTPN IV ke Yayasan Universitas Simalungun.
"Bahwa dari hasil kesimpulan yang kami sampaikan di atas maka kami menduga penggunaan anggaran dalam pembangunan gedung Pascasarjana Universitas Simalungun Kota Pematang Siantar telah terjadi tindak pidana korupsi yang secara sistematis dan terstruktur dikarenakan sisa dari dana bantuan CSR PTPN IV tersebut tidak diketahui kemana penyalurannya sehingga proyek pembangunan gedung Pascasarjana Universitas Simalungun tidak terlaksana alias mangkrak," tukasnya.
Alfian mengatakan, sesuai dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi pada Pasal 2 ayat 1, disebutkan bahwa setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Atas laporan tersebut pihaknya kata Alfian, berharap Polda Sumut dapat merespons sesuai dengan hukum yang berlaku. []