Jakarta - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mendesak Pemerintah Kota Bogor untuk mencabut Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual (P4S).
"Apabila Pemerintah Kota Bogor tidak mengambil tindakan, Pemerintah Pusat melalui Kementerian Dalam Negeri membatalkan perda ini," kata Peneliti ICJR Genoveva Alicia dalam keterangan tertulis, Jumat, 25 Maret 2022.
Pihaknya kata Alicia, melihat bahwa perda ini berpotensi melanggengkan stigma terhadap kelompok minoritas seksual. Stigmatisasi terhadap kelompok minoritas seksual ini merupakan akar penyebab terjadinya persekusi terhadap kelompok minoritas seksual.
LBH Masyarakat pada 2018 mencatat setidaknya terjadi 973 kekerasan yang terjadi terhadap kelompok minoritas seksual. Selain kekerasan, selama Pandemi COVID-19, kelompok minoritas seksual juga terus mengalami diskriminasi.
Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk) mencatat angka kekerasan terhadap kelompok minoritas seksual, khususnya transpuan meningkat dari tahun ke tahun. Data dari Arus Pelangi pada 2019 menunjukkan adanya 6 pembunuhan terhadap transpuan.
Kedua, penggunaan pidana yang tak berdasar. Pasal 25 dari Perda ini mencantumkan mengenai pemberian sanksi bagi pelanggar “perilaku penyimpangan seksual” sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Indonesia.
Ketentuan inilah yang kemudian rentan dipergunakan sebagai legitimasi persekusi yang dilakukan terhadap kelompok minoritas seksual.
Baca juga: Perda Kota Bogor Melarang Lesbian, Homoseksual dan Waria
Negara kata dia, tidak seharusnya menginvasi privasi warga negaranya, kecuali di dalam hal terjadi kekerasan di mana negara memiliki kewenangan untuk membantu korban dan berhak melakukan intervensi menggunakan instrumen pidana.
Ketiga, rehabilitasi tanpa bukti berbahaya untuk keamanan dan keselamatan warga negara. Pelaksanaan rehabilitasi dengan pendekatan medis, mental dan spiritual, dan asistensi psikis merupakan sentimen negatif jika dilakukan terhadap kelompok homoseksual, biseksual, ataupun waria.
Rehabilitasi untuk mengubah identitas gender dan orientasi seksual atau disebut “Conversion Therapy” di banyak negara dianggap sebagai terapi berbahaya dan bahkan dilarang di dalam peraturan domestiknya.
Di Amerika Serikat sendiri tahun 2020, sebanyak 27 persen remaja LGBTQ yang menjalani rehabilitasi ini berujung pernah melakukan percobaan bunuh diri (Statista, 2022).
Keempat, berbenturan dengan upaya penanggulangan HIV-AIDS oleh pemerintah. Selain diskriminatif dan menstigma, keberadaan perda seperti ini justru kontraproduktif terhadap komitmen pemerintah dalam upaya penanggulangan HIV-AIDS di Indonesia.
Perda ini justru akan mendorong semakin sulitnya akses populasi kunci terhadap pencegahan HIV-AIDS.
Baca juga: Perda P4S Bogor Berpotensi Stigmatisasi Kelompok Minoritas Seksual
Penghilangan stigma dan diskriminasi seharusnya menjadi pilar utama dalam mewujudkan komitmen pemerintah dalam menanggulangi HIV-AIDS dan bukan sebaliknya.
Kelima, potensi pengekangan kebebasan berekspresi. Selain hal-hal di atas, di dalam ketentuan Pasal 9 huruf e Perda ini, disampaikan bahwa pemerintah juga dapat melakukan pencegahan perilaku menyimpang melalui pemantauan media dan internet.
Ketentuan ini jelas secara langsung mengancam hak atas kebebasan berpendapat, dan privasi yang dijamin di dalam UUD 1945.
"Dalam mengekspresikan pikirannya, setiap warga negara berhak mendapatkan jaminan bahwa dirinya dapat menyampaikan pendapatnya tersebut dengan aman, tanpa takut dikekang berdasarkan orientasi seksual seseorang, kata Alicia.
Keenam, prioritas anggaran yang tak jelas, dan penghamburan biaya. Perda ini juga kemudian mengamanatkan pembentukan Komisi Penanggulangan yang artinya akan ada pengalokasian anggaran dan sumber daya yang tidak perlu. []