Oleh: Ngasiman Djoyonegoro Pengamat Intelijen dan Keamanan
Kritik publik terhadap penanganan kasus Brigadir J alias Nofriansyah Yoshua Hutabarat muncul sejak Polres Jakarta Selatan mengumumkannya tiga hari setelah kejadian. Tuntutan akuntabilitas penanganan kasus ini tidak bisa terbendung.
Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo secara cepat mengambil langkah strategis. Satu titik untuk melanjutkan agenda Reformasi Polri mengarah pada optimisme. Tewasnya Brigadir J bukanlah peristiwa biasa.
Karena peristiwa tersebut terjadi di rumah Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Irjen Pol. Ferdy Sambo. Hal ini berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dalam proses penyidikan.
Sejak awal, potensi ini harus diantisipasi. Jika konflik kepentingan tak diminimalisir dengan baik, maka dapat terjadi "misleading" dalam kelanjutan pemeriksaan kasus. Dalam jangka panjang berdampak pada menguatnya kecurigaan dan ketidakpercayaan publik terhadap institusi Polri.
Namun demikian, Kapolri secara cepat mengambil sikap yang berpegang teguh pada prinsip responsibilitas, transparansi, dan independensi. Komitmen itu terlihat jelas saat pembentukan Tim Khusus (Timsus) yang bersifat independen untuk melaksanakan penyidikan dan penyelidikan kasus Brigadir J.
Kapolri secara aktif melibatkan "stakeholders" lain untuk memperkuat penyidikan seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).
Dalam konteks keberlanjutan agenda Reformasi Polri, komitmen ini menyasar langsung pada aspek reformasi kultural yang telah ditetapkan dalam agenda prioritas Reformasi Polri sejak 2021.
Di sisi lain, dalam penanganan kasus Brigadir J ini, Polri dituntut untuk mampu menunjukkan kepada publik bahwa aspek reformasi struktural dan reformasi instrumental telah diimplementasikan dengan baik.
Dalam kerangka di atas, setidaknya Kapolri telah menunjukkan komitmen Reformasi Polri pada empat langkah strategis.
Pertama, Polri secara berkala menyampaikan informasi perkembangan terkini kepada publik mengenai penanganan penyidikan kasus Brigadir J. Masukan masyarakat dalam kasus ini menjadi satu hal penting dan diperhatikan dalam pembuatan keputusan oleh Kapolri, termasuk keputusan pencopotan sejumlah pejabat kepolisian.
Komitmen keterbukaan tidak hanya terkait dengan kelembagaan Polri, tetapi terkait dengan kinerja penyidikan yang dilakukan anggota Polri terhadap anggota Polri lainnya. Langkah keterbukaan ini bermakna besar bagi masyarakat. Mereka dapat menyaksikan dan memantau penanganan kasus ini, bagaimana hukum dan keadilan ditegakkan di dalam tubuh Polri .
Kedua, Kapolri dengan tegas mencopot 10 jabatan strategis pada Divisi Propam Polri, termasuk mencopot Irjen Pol. Ferdy Sambo (Kadiv Propam) dan digantikan Irjen Pol. Syahardiantono. Sebanyak 25 anggota Polri lainnya yang dianggap menghambat penyidikan diperiksa dan terancam proses pidana.
Sebanyak 25 anggota Polri itu terdiri atas tiga jenderal polisi bintang satu, lima orang berpangkat Kombes (Komisaris Besar), tiga orang berpangkat AKBP (Ajun Komisaris Besar Polisi), dua orang berpangkat Kompol (Komisaris Polisi), tujuh orang Pama (Perwira Pertama), lima orang dari Bintara, dan Tamtama.
Tak dipungkiri bahwa tujuan dari pencopotan sejumlah pejabat Polri ini bertujuan untuk meminimalisir konflik kepentingan dalam penyidikan dan penyelidikan kasus.
Penerapan prinsip independensi dan meminimalkan konflik kepentingan adalah dua hal yang seharusnya ada dalam proses penyidikan. Pencopotan ini, secara luas dapat dimaknai sebagai penegakan Kode Etik di internal Polri itu sendiri.
Ketiga, Kapolri mengizinkan untuk mengautopsi ulang jenazah Brigadir J di Jambi untuk mengetahui secara lebih jelas penyebab kematian jenazah. Terbukti dari autopsi ulang itu, secara jelas terungkap bahwa korban mengalami kematian yang diakibatkan luka tembakan dan luka bukan tembakan. Adanya kejelasan ini dapat memandu pada proses penyidikan yang lebih objektif.
Prinsip Transparansi
Selain tuntutan dari keluarga almarhum, autopsi ulang ini dapat ditafsirkan sebagai bentuk penegakan prinsip transparansi atau keterbukaan. Bahwa dalam penyidikan kasus semuanya harus terang benderang dan tidak ada yang ditutup-tutupi. Kewenangan yang dilekatkan pada pejabat kepolisian tidak bisa disalahgunakan dan di bawah pengawasan.
Keempat, Kapolri selalu menyampaikan bahwa pembuktian yang dilakukan untuk mencari kebenaran materiil atas suatu tindak pidana haruslah berdasar pada "crime scientific investigation" (CSI) atau penyidikan berbasis ilmiah sebagai upaya penguatan alat bukti dalam penanganan perkara pidana, termasuk dalam kasus meninggalnya Brigadir J.
CSI adalah suatu metode pendekatan penyidikan dengan mengedepankan berbagai disiplin ilmu pengetahuan untuk mengungkap satu kasus kejahatan. Dengan menggunakan metode CSI, pengakuan tersangka ditempatkan pada urutan terakhir dari alat bukti yang akan diajukan ke pengadilan karena metode CSI menitikberatkan analisis yang melibatkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang dapat mengungkap suatu tindak kejahatan.
Empat langkah strategis Kapolri ini setidaknya telah berhasil mengakselerasi kinerja Polri sehingga mampu menemukan tersangka Bharada E serta melanjutkan pemeriksaan lanjutan terhadap anggota Polri lainnya. Kemajuan-kemajuan dalam pemeriksaan ini sulit tercapai tanpa langkah strategis yang diambil Kapolri.
Empat langkah di atas menunjukkan bahwa reformasi kultural, struktural, dan instrumental telah diterapkan sebagai bagian dari keberlanjutan Reformasi Polri. Di tengah menurunnya kepercayaan publik terhadap Polri, langkah-langkah tepat ini diharapkan dapat kembali meningkatkan citra Polri di tengah masyarakat.
Kapolri ingin menunjukkan konsistensi kerja dengan penegakan prinsip-prinsip yang diatur dalam undang-undang. Komitmen seperti inilah yang dibutuhkan untuk membangun stabilitas keamanan nasional di masa yang akan datang. Kita perlu membangun optimisme bahwa tongkat estafet Reformasi Polri dipegang oleh para aktor yang tepat dan mampu menerjemahkan kehendak publik pada bidang keamanan.[] (ANTARA, Jumat, 5 Agustus 2022)