*Oleh: Pdt. Penrad Siagian (Anggota DPD RI Terpilih 2024-20290
Membaca tulisan Tamsil Linrung membangkitkan memori saya semasa menjadi mahasiswa, lintasan ingatan tentang mata kuliah filsafat politik terpantik, persis karena ada yang terasa begitu mengganggu.
Pada bagian-bagian awal tulisan tersebut, framing tentang suasana keakraban dalam dialog yang diagendakan 30 menit hingga menjadi hampir 2 jam, berupaya untuk memberi kesan dukungan pak Prabowo selaku Presiden terpilih.
Sekilas tidak ada yang salah dengan hal itu, sampai kita memahami bahwa teks tidak pernah bertumpu di ruang hampa, terutama menjelang pelantikan anggota DPD yang sebentar lagi juga melangsungkan pemilihan pimpinannya.
Kesediaan pak Prabowo selaku Presiden terpilih memperpanjang dialog bukanlah hal yang luar biasa. Sebagai pribadi yang hangat, sangat lumrah beliau memberi apresiasi dengan perpanjangan waktu. Terlebih lagi, dengan patriotismenya, percakapan mengenai pembangunan bangsa yang besar dan berdaya ini akan selalu menggugahnya.
Beliau tidak pandang bulu dalam bersikap ketika bercakap tentang bangsa dan negara ini. Terhadap petani, nelayan, buruh, atau apa pun jenis profesi lainnya, lebih lama dari 2 jam pun beliau sanggup asalkan tentang pembangunan bangsa besar ini.
Lalu apa yang mengganggu dari framing tersebut dengan membawa kesan dukungan beliau?
Pertama, sebagai Presiden terpilih, framing tersebut justru secara tidak langsung mendegradasi sikap penerimaan beliau, dari urusan bangsa besar menjadi kesan dukung-mendukung dalam pemilihan ketua DPD.
Kedua, tidak akan ada bantahan sedikit pun mengenai pentingnya sinergi antarlembaga tinggi negara di eksekutif maupun legislatif karena sama-sama memiliki legitimasi kuat yang bersumber dari suara rakyat.
Namun, dalam sistem presidensial, justru kita sama mafhum bahwa semestinya yang terjadi adalah penyebaran kekuasaan (distribution of power) dan pembagian kekuasaan (division of power). Pada titik ini perlunya etika politik untuk “menjaga jarak” antarlembaga sebagai bagian ikhtiar menjaga demokrasi dalam sistem presidensial tersebut.
Sinergi antarlembaga tinggi negara di satu sisi dan penyebaran serta pembagian kekuasaan disisi lain bukanlah area dikotomis, tetapi dengan meringkus pertemuan tersebut ke dalam kesan momentual berkenaan dengan dekatnya pemilihan ketua, justru memberi kesan sebaliknya.
Ketiga, saya teringat dengan gagasan Montesquieu dan John Locke mengenai pentingnya pemisahan kekuasaan, sebab tanpa itu maka kebebasan tidak pernah tercipta dan hanya mencondongkannya pada kekuasaan tirani.
Persis dalam hal ini, hemat saya, framing terhadap dialog tersebut, yang dilakukan tidak lebih sebagai manuver politik, justru mencederai kebesaran muruah Presiden terpilih yang sama kita cintai.
Kalimat infinity kekuasaan dalam frasa yang dikembangkan Tamsil Linrung juga sangat mengganggu karena bertolak belakang dengan semangat penguatan DPD, alih-alih menjadikan DPD lembaga kuat, malah kontra produktif karena menjerumuskan DPD dalam kerangkeng sebagai musuh bersama demokrasi.
Lembaga tinggi negara tumbuh menjadi monster kekuasaan, sebagaimana yang digambarkan Thomas Hobbes sebagai Leviathan.
Keempat, cawe-cawe minta dukungan sama saja dengan mencederai legitimasi semua anggota DPD dan berlawanan dengan misi penguatan kelembagaan DPD. Padahal, Presiden terpilih kita yang notabene seorang negarawan sangat memahami apa yang harus dan tidak harus beliau lakukan dalam konteks bernegara.
Dengan kata lain, beliau tidak akan mungkin ikut dukung-mendukung sesuatu yang mencederai kehendaknya untuk membenahi sistem ketatanegaraan Indonesia. Komunikasi antarlembaga negara semestinya dilakukan setelah pelantikan untuk menghargai soliditas internal DPD, bukan sebagai manuver politik yang remeh seperti ini. Terkait komunikasi dan sinergi antarlembaga negara, itu hal final yang tidak ditolak oleh siapa pun di negeri ini!
Terakhir, dengan analisa seperti di atas dalam melihat motivasi di balik momen pertemuan antara Linrung dan kawan-kawan dengan Presiden terpilih Bapak Prabowo Subianto, tidak hanya mendegradasi muruah Presiden sebagai simbol Negara tapi juga sekaligus merendahkan dan menyeret kelembagaan kepresidenan itu sendiri yang seharusnya berada di atas seluruh golongan dan kelompok.
Momen tersebut juga merendahkan pemosisian kelembagaan DPD sekaligus menggadaikan independensi seluruh anggota DPD RI yang merupakan representasi dari berbagai daerah dengan seluruh latar kemajemukannya. Terkait hal ini, banyak pihak telah mempertanyakan melalui analisis di media; akan dibawa ke mana sebuah lembaga tinggi yang harus diperkuat tetapi beberapa anggotanya menundukkan diri dan menggiring Presiden terpilih dalam cawe-cawe yang sungguh tak dikendalinya?[]