Jakarta - Kelompok organisasi mahasiswa yang tergabung dalam Kelompok Cipayung Plus Bengkulu melaksanakan mimbar bebas dan aksi teatrikal dalam rangka memperingati International Women’s Day 2022 pada Rabu, 9 Maret 2022.
Kegiatan ini dilangsungkan mengingat sepanjang tahun 2020 diketahui Provinsi Bengkulu menempati urutan ke-4 angka kekerasan seksual tertinggi di Pulau Sumatera.
Berdasarkan catatan WCC Cahaya Perempuan dan Yayasan PUPA Bengkulu, terdapat 25 kasus sepanjang dua tahun lalu.
Tiara Nitaria Sinaga, Kabid Penguatan Kapasitas Perempuan GMKI Cabang Bengkulu yang ikut dalam kegiatan itu mengatakan bahwa pihaknya tidak hanya berangkat dari peringkat ke-4 tertinggi dalam kasus pelecehan dan kekerasan seksual tersebut.
Dia menuturkan, gabungan pergerakan ini dilakukan menyadari bahwa perlindungan hukum yang selama 10 tahun dinantikan tak kunjung di sahkan, yakni RUU TPKS.
"Sekecil apapun kepedulianmu, itu sangat berdampak besar bagi korban dalam pemulihan trauma dan semangat melanjutkan kehidupan ke depannya," kata Tiara dalam keterangan yang diterima Opsi.ID.
Ketua Umum Kohati Komisariat Unihaz sekaligus Korlap aksi mimbar bebas, Shella A juga menyampaikan hal serupa terkait RUU TPKS tersebut.
"Sudah hampir 10 tahun UU RUUTPKS belum disahkan padahal di dalamnya mengatur mengenai pemulihan dan perlindungan hak-hak korban baik secara psikis maupun non psikis. Saya harap pemerintah segera mengesahkan RUUTPKS," katanya.
Dia berharap ke depan dengan adanya aksi ini, Pemerintah dan aparat penegak hukum ambil andil dalam menyelesaikan segala kasus pelecehan dan Kekerasan seksual di Bengkulu.
Tak hanya itu, dia juga meminta Pemerintah membangun sistem pemulihan hak-hak bagi para korban.
"Juga agar masyarakat lebih sadar akan pendidikan karakter setiap individu di sekitar mereka dan menjadi rumah yang aman dan nyaman bagi korban serta keluarga korban pelecehan dan kekerasan seksual di Bengkulu," ucap Shella.
Dalam hal ini, Cipayung Plus Bengkulu juga menyampaikan beberapa poin tuntutan;
1. Menuntut Pemerintah segera mengesahkan RUU TPKS.
2. Menuntut Kepala Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota Bengkulu untuk mengoptimalkan perlindungan perempuan dan anak di Provinsi Bengkulu.
3. Menuntut Pemerintah dan jajarannya untuk membangun sistem pemulihan dan perlindungan hak-hak korban baik secara psikis maupun non-psikis.
4. Menuntut aparat penegak hukum untuk menuntaskan kasus-kasus kekerasan dan pelecehan seksual di Provinsi Bengkulu.
5. Mengecam oknum-oknum yang memanfaatkan identitas korban untuk kepentingan pribadi dan/atau golongan.[]