Jakarta - Anggota DPD RI terpilih, Pdt Penrad Siagian merespons rapat paripurna DPR RI yang resmi mengajukan RUU Perubahan Ketiga atas UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai inisiatif DPR pada Selasa, 25 Mei 2024.
Mengingat banyaknya kritikan dari elemen masyarakat sipil terkait Revisi UU Polri, Penrad Siagian mengingatkan agar DPR perlu menyorot masalah fundamental yang selama ini terjadi di institusi kepolisian sebagai fokus dalam merevisi UU tentang Kepolisian tersebut.
Oleh sebab itu, dia menyampaikan beberapa catatan kritis mulai dari sisi substansi yang terdapat perluasan kewenangan yang menjadikan lembaga kepolisian sebagai institusi superbody.
"DPR juga kurang memperhatikan lemahnya aspek mekanisme pengawasan dan kontrol publik terhadap kewenangan kepolisian yang sangat besar dalam penegakan hukum, keamanan negara maupun pelayanan masyarakat," kata Penrad seperti meneruskan keterangannya, Rabu, 26 Juli 2024.
Senator berlatar belakang aktivis tersebut lebih lanjut mengemukakan berbagai catatan masyarakat sipil dan sejumlah lembaga negara yang telah memotret institusi Polri menjadi aktor kekerasan, pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), mal administrasi, penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) hingga praktik-praktik korupsi.
Lebih lanjut, dia menyarankan agar DPR melihat catatan terakhir Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI tahun 2023, di mana kepolisian menempati peringkat paling atas sebagai institusi yang paling banyak diadukan terkait kasus pelanggaran HAM dengan jumlah 771 kasus dari total aduan sebanyak 2.753.
Ia menegaskan, peringkat ini menunjukkan Polri sebagai aktor dominan institusi teradu pelaku pelanggaran HAM jika dibandingkan dengan data Komnas HAM di tahun-tahun sebelumnya.
"Silakan juga lihat Laporan Tahunan Ombudsman RI. Dalam rentang 4 tahun terakhir yakni, 2020-2023, kepolisian konsisten sebagai institusi yang paling banyak dilaporkan," ujarnya.
"Aduan terkait institusi Polri yang diterima dan dirangkum Kompolnas sampai pada September 2023 saja, juga menunjukkan data yang lebih masif lagi, yakni 1.150 pengaduan. Dengan rincian perilaku pelayanan buruk, penyalahgunaan wewenang, dugaan korupsi, perlakuan diskriminatif, hingga penggunaan diskresi yang keliru," sambungnya.
Dengan bentangan data sedemikian panjang, bagi Penrad, patut kiranya DPR tidak tergesa-gesa menginisiasi RUU Polri tersebut. Keberadaan RUU Polri, lanjutnya, seharusnya berguna menyelesaikan persoalan fundamental dan amanat reformasi untuk melakukan reformasi di tubuh Kepolisian RI dan transparansi seperti perihal pengawasan, malah tidak mendapat tempat di dalam RUU ini.
Penrad menyebut RUU itu justru makin menjadikan Polri sebagai institusi yang rakus kewenangan dan memosisikannya sangat kuat.
Di samping itu, RUU ini secara substansi tidak memiliki agenda memperkuat perlindungan terhadap HAM dan memihak kepentingan masyarakat sipil, hingga mengabaikan perbaikan mekanisme pengawasan yang akan melanggengkan impunitas terhadap anggota kepolisian yang menjadi pelaku kejahatan atau pelanggar hukum. Persoalan fundamental dan amanat Reformasi untuk melakukan reformasi di tubuh kepolisian RI dan transparansi.
Bagi Penrad, yang menerima aspirasi dari jejaring lamanya sesama aktivis organisasi masyarakat sipil, menegaskan sikapnya meminta DPR maupun Pemerintah untuk menghentikan pembahasan Revisi UU Polri pada masa legislasi ini.
Hal itu bertujuan agar DPR tidak menyusun UU secara tergesa-gesa dan mengabaikan mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan yang semestinya sejalan dengan prinsip demokrasi dan negara hukum.
"Pembentukan UU baru semestinya memperkuat cita-cita reformasi untuk penguatan sistem demokrasi, negara hukum dan hak asasi manusia dalam rangka melindungi warga negara bukan justru sebaliknya mengancam demokrasi dan hak asasi manusia," ucapnya.
Pdt Penrad Siagian juga meminta DPR untuk memprioritaskan pekerjaan rumah legislasi lain yang lebih mendesak seperti Revisi KUHAP, RUU PPRT, RUU Perampasan Aset, RUU Penyadapan, RUU Masyarakat Adat dan lain-lain.[]