Jakarta - Studi mutakhir yang dilakukan oleh Prof. Saiful Mujani menunjukkan bahwa pada masyarakat Muslim beretnis Jawa, kelompok warga yang mengidentifikasi dirinya sebagai santri semakin dominan.
Namun santrinisasi kultural dan sosial tersebut tidak muncul dalam bentuk santrinisasi politik. Dalam pemilihan presiden, mayoritas atau 60 persen warga Muslim Jawa yang mengaku santri memilih kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Ganjar Pranowo.
Hasil studi ini disampaikan dalam program `Bedah Politik bersama Saiful Mujani` episode "Santri, Abangan, dan Pilpres 2024" yang disiarkan melalui kanal Youtube SMRC TV pada Kamis, 13 April 2023.
Guru besar ilmu politik Universitas Islam Negeri tersebut menjelaskan bahwa tipologi priayi, santri, dan abangan adalah konsep antropologis. Itu merupakan hasil penafsiran Clifford Geertz terhadap gejala keagamaan Muslim di Jawa.
Apakah itu penting secara elektoral atau politik dalam pemilihan presiden atau pemilihan legislate? Saiful menduga pertanyaan itu akan sulit dijawab secara antropologis karena cara studinya berbeda.
Namun demikian, lanjutnya, belakangan konsep itu dipakai dalam studi politik yang lebih behavioral yang bersandar pada pola-pola hubungan kausal antara tipologi itu dengan perilaku memilih di satu sisi.
Sementara di sisi lain coba dibuat inferensi atau generalisasi terhadap konsep priayi, santri, abangan di Indonesia dan pengaruhnya dalam pemilihan anggota legislatif maupun presiden.
Ada studi mutakhir tentang itu dan mengusulkan agar memperhatikan secara lebih serius konsep tipologi priayi, santri, dan abangan. Katanya konsep itu masih berguna untuk membantu menjelaskan perilaku memilih di Indonesia.
Dalam konteks itu, SMRC memiliki survei pada Maret 2023 yang fokus pada warga muslim yang beretnis Jawa di seluruh Indonesia. Ada 52,4 persen yang mengaku santri, 22,3 persen abangan, dan 1,4 persen priayi.
Ada 23,9 persen yang tidak menjawab. Saiful menjelaskan bahwa warga Indonesia yang beretnis Jawa sekitar 40 persen dari total populasi dan mayoritasnya adalah Muslim.
Saiful menjelaskan bahwa ada keyakinan dari para ilmuan bahwa tahun 50-an yang dominan justru adalah kelompok abangan. Walaupun tidak ada survei ketika itu, namun ada semacam keyakinan bahwa saat itu, kelompok abangan lebih besar dari santri.
Buktinya adalah bahwa di dalam Pemilu 1955, pemenangnya adalah Partai Nasionalis Indonesia (PNI). Di Jawa, partai yang dominan ketika itu adalah PNI dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Sementara partai Islam Masyumi, dominan di luar Jawa, terutama di Sumatera.
Kalau dikatakan bahwa pada tahun 40-an dan 50-an, abangan yang beririsan dengan priayi besar sementara sekarang santri yang dominan, artinya terjadi perubahan, lanjut Saiful. Artinya, studi antropolog seperti yang dilakukan Bambang Pranowo terkonfirmasi, bahwa terjadi santrinisasi di Jawa.
Pendiri SMRC tersebut menambahkan bahwa di zaman Orde Baru, ada pemaksaan bagi semua warga untuk mencantumkan nama agama di KTP. Kelompok abangan juga sebelumnya identik dengan PKI, sementara di zaman Orde Baru, PKI dilarang. Karena itu terjadi perubahan.
Banyak yang kemudian berpindah dari abangan dan sekarang mengaku dirinya adalah santri dan mungkin semakin banyak yang kemudian melakukan praktik-praktik keagamaan santri.
"Sebutlah dulu abangan itu besar, dan sekarang tinggal 22,3 persen, berarti terjadi perubahan yang cukup penting," ujarnya.
Namun demikian, lanjut Saiful, walaupun terjadi santrinisasi secara kultural, secara politik yang terjadi bukan politik santri. Saat ini, kalau memakai konsep lama tentang partai, di parlemen hanya ada dua partai yang eksplisit menyebut dirinya sebagai partai Islam, yakni PKS dan PPP.
Gabungan keduanya hanya sekitar 13 persen. Sementara pada Pemilu 1955, gabungan Partai NU dan Masyumi sekitar 40 persen.
"Santrinisasi terjadi secara kultural dan sosial, tapi secara politik tidak. Secara kultural, masyarakat Muslim Jawa semakin santri, tapi soal politik, beda lagi," tuturnya.
Saiful mencontohkan sekarang banyak kader PDIP yang memakai jilbab. Bahkan Ganjar Pranowo yang sekarang populer menjadi calon presiden dan merupakan kader PDIP juga tampak seperti santri. Istri Ganjar sendiri berasal dari keluarga santri.
"Terjadi sekularisasi politik, (di mana warga) mendiferensiasi wilayah politik dan agama. Orang, ketika memperjuangkan kepentingan publik, bicara lebih inklusif dan tidak eksklusif untuk kepentingan agama tertentu, tapi kepentingan warga negara. Tidak identik antara santrinisasi dengan politisasi atau santrinisasi politik," kata dia.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah kenyataan bahwa ada masyarakat yang mengidentifikasi diri sebagai santri, abangan, dan priayi ini penting secara elektoral?
Dalam tabulasi silang, dari 52,4 persen santri Muslim Jawa, 60 persen memilih Ganjar, 20 persen Prabowo Subianto, dan 15 persen Anies Baswedan.
Ada 5 persen yang belum menjawab. Sementara pilihan kelompok abangan juga lebih dominan ke Ganjar 58 persen, Prabowo 11 persen, Anies 14 persen, dan tidak jawab 16 persen.
Sementara terdapat 59 persen kalangan priayi yang memilih Ganjar, 0 persen memilih Prabowo, 19 persen memilih Anies, dan tidak jawab 22 persen.
"Ganjar didukung oleh mayoritas santri, abangan, dan priayi," kata Saiful.
Berdasarkan data ini, dia menyimpulkan bahwa perbedaan santri, abangan, dan priayi dalam pemilihan presiden tidak penting. Baik yang santri, abangan, maupun priayi di kalangan Muslim Jawa sama-sama dominan memilih Ganjar Pranowo.
"Ada memang warga yang menganggap dirinya santri, abangan, dan priayi. Tapi itu tidak punya efek berarti dalam perilaku memilih di pemilihan presiden," ucap Saiful.