SIANTAR - Presiden Prabowo Subianto menginstruksikan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni untuk mengaudit secara menyeluruh PT Toba Pulp Lestari atau TPL, menyusul bencana banjir dan tanah longsor menerjang Sumatra dan Aceh pada akhir November 2025 lalu.
Ini sesuai dengan pengakuan Menteri Raja Juli Antoni di Jakarta pada Senin, 15 Desember 2025, selepas rapat kabinet paripurna bersama Presiden Prabowo.
Dia mengungkapkan, Prabowo memerintahkan ada audit dan evaluasi total terhadap TPL yang beroperasi di Sumatra Utara.
"Khusus untuk PT Toba Pulp Lestari, PT TPL, yang banyak diberitakan. Pak Presiden secara khusus memerintahkan kepada saya untuk melakukan audit dan evaluasi total," katanya.
Merespons perintah audit TPL ini, Pdt Robinsar Siregar yang dikenal sebagai seorang Teolog konsen mengenai ekologi, menilai bahwa manusia tidak percaya Allah, melalui alam sebagai `auditor`.
Dia mengungkap dalam teologi penciptaan sesuai nats Kitab Mazmur 19:2 dan Roma 1:20, disebutkan bahwa alam semesta dipahami sebagai kesaksian objektif karya Allah.
"Kerusakan ekologis, bencana berulang, hilangnya keseimbangan ekosistem, dan penderitaan makhluk hidup bukan sekadar `peristiwa alam` melainkan indikator moral dan struktural atas relasi manusia yang rusak dengan ciptaan," terangnya.
Menurut dia, ketika tanda-tanda alam terus menerus diabaikan, lalu kekuasaan meminta audit tambahan oleh manusia, sesungguhnya yang terjadi adalah penyangkalan terhadap bahasa alam sebagai pernyataan umum dari Sang Pencipta dan penundaan tanggung jawab etik dan politik.
"Upaya menggeser persoalan struktural menjadi sekadar persoalan teknokratis. Dengan kata lain, audit manusia diminta bukan untuk mencari kebenaran, tetapi untuk mengaburkan kebenaran yang sudah telanjang di hadapan mata," tukas pria yang juga melayani di GKPI tersebut.
Lebih jauh jata Pdt Robinsar, pandangan antropomorfisme yang sesat menjadikan manusia sebagai hakim terhadap hasil audit Sang Pencipta melalui alam.
Antropomorfisme lazimnya adalah memproyeksikan sifat manusia kepada Allah. Namun dalam konteks ini terjadi antropomorfisme sesat.
Di mana manusia, melalui negara dan kekuasaan, memposisikan diri sebagai hakim atas kebenaran ciptaan Allah.
Dia mengingatkan, logika ini berbahaya karena menganggap rasionalitas manusia (terutama birokrasi dan statistik) lebih sahih daripada realitas ekologis, menempatkan manusia sebagai pusat (antroposentrisme ekstrem), dan menggeser dosa struktural menjadi sekadar `belum ada bukti final`.
"Di sinilah tampak kesombongan epistemologis, seolah-olah alam belum sah sebagai saksi sebelum disahkan negara," ujarnya dalam keterangan tertulis, Rabu, 17 Desember 2025.
Dia menilai, konstruksi berpikir sang penguasa lewat permintaan audit manusia atas bencana ekologis menjadi puncak legitimasi yang menunjukkan pergeseran nalar spiritual dan moral ke nalar prosedural.
Presiden dalam hal ini menurutnya, sebatas menggugat siapa yang dirugikan, dan apakah sudah ada laporan resmi.
"Inilah ciri khas dari rasionalitas kekuasaan modern itu. Fakta ekologis dianggap opini, jeritan korban dianggap emosional, dan data negara dianggap satu-satunya kebenaran," katanya.
Pdt Robinsar menegaskan, audit bukan alat kebenaran, tetapi alat legitimasi penundaan (politics of delay).
Ketika pemimpin negara lebih percaya pada audit buatan manusia daripada tanda-tanda ekologis yang berulang dan sistemik, maka sesungguhnya yang terjadi merupakan krisis iman publik.
Iman pada ilmu direduksi menjadi iman pada angka. Iman pada Tuhan digantikan oleh iman pada prosedur, dan iman pada kehidupan dikalahkan oleh iman pada investasi
"Ini bukan sekadar persoalan kebijakan yang sangat keliru, tetapi krisis spiritual dan etis dalam kepemimpinan," tandas sosok yang juga Sekretaris Gerakan Oikumenis untuk Keadilan Ekologi di Sumatra Utara (Gokesu) itu.
Dalam tradisi kenabian Alkitab, kata dia, Allah tidak pernah menunggu audit raja untuk menyatakan kebenaran-Nya. Justru sebaliknya, para nabi berdiri melawan negara ketika negara menolak membaca tanda zaman.
Maka sikap kritis terhadap logika ini bukan sikap anti-negara, melainkan kesetiaan pada kebenaran ciptaan, keberpihakan pada korban, dan panggilan profetis gereja dan masyarakat sipil.
Itu sebabnya menurut dia, permintaan audit manusia di tengah tanda-tanda ekologis yang jelas menunjukkan antropomorfisme epistemologis, manusia menilai ulang atau menggugat karya Sang Pencipta.
Penolakan terhadap wahyu ekologis, strategi kekuasaan untuk menunda tanggung jawab, krisis iman yang dilembagakan dalam kebijakan.
"Ketika alam telah bersaksi, namun penguasa masih meminta audit, sesungguhnya yang diaudit bukan alam, melainkan nurani kekuasaan itu sendiri. Ketika alam telah bersaksi dan korban telah berjatuhan, menunda tanggung jawab atas nama rasionalitas merupakan bentuk baru dari ketidakadilan," tandas Pdt Robinsar. []