Cirebon - Prabu Diaz, Panglima Tinggi Laskar Agung Macan Ali Nuswantara, baru-baru ini melakukan kunjungan silaturahmi ke kantor Pj Walikota Cirebon, Agus Mulyadi. Agenda utama dalam pertemuan tersebut adalah menjaga kondusivitas jelang Pilkada serentak 2024, serta pelantikan Presiden dan Wakil Presiden mendatang.
Namun, pertemuan ini tidak hanya sekadar obrolan politik biasa. Prabu Diaz turut menyinggung isu sensitif yang sedang menghangat di Cirebon, yakni polemik tentang kepemimpinan Keraton Kasepuhan.
Isu ini sempat ramai diperbincangkan di media sosial, dengan berbagai klaim dan tuduhan yang menimbulkan kegaduhan di kalangan masyarakat.
Diaz menegaskan pentingnya pemerintah daerah segera bertindak untuk meredam konflik yang berlarut-larut terkait klaim kepemimpinan di Keraton Kasepuhan. Menurut Diaz, situasi ini bisa berdampak buruk jika terus dibiarkan tanpa penyelesaian yang jelas.
“Kami telah membahas urgensi untuk pemerintah mengambil langkah tegas dalam menenangkan kegaduhan terkait klaim jabatan Sultan Kasepuhan,” ungkap Prabu Diaz, Kamis (10/10/2024).
Prabu Diaz menjelaskan bahwa secara adat dan tradisi, Sultan Kasepuhan ke-16 saat ini adalah Pangeran Raja Lukman Zulkaidin, yang merupakan putra Sultan Sepuh ke-14, almarhum Pangeran Raja Arif Natadiningrat. Garis keturunan ini, menurutnya, sudah berlangsung turun-temurun sejak masa Sunan Gunung Jati.
Namun, konflik muncul setelah beberapa pihak mengklaim gelar Sultan Kasepuhan, memicu perdebatan di berbagai platform. Tuduhan dan fitnah beredar luas, membuat masyarakat bingung.
“Kami berinisiatif membantu pemerintah mencari solusi damai untuk mengatasi masalah ini,” lanjut Diaz.
Sebagai langkah konkret, akan dilakukan pertemuan yang melibatkan para ahli hukum, Forkopimda, serta pakar sejarah dan budaya. Mereka berencana menggali bukti dari arsip-arsip negara yang autentik untuk memastikan siapa sebenarnya Sultan yang sah.
"Kejelasan hanya bisa dicapai dengan data otentik dan kajian mendalam," pungkas Diaz.
Pertemuan ini mencerminkan upaya bersama untuk menjaga ketenangan di Cirebon, tidak hanya menjelang Pilkada, tetapi juga di tengah polemik kultural yang melibatkan salah satu ikon sejarah penting di wilayah tersebut. []