Jakarta - Muhammad Rue Savaelja terdakwa dugaan kasus memaksa anak untuk melakukan perbuatan cabul telah mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia.
Sebelumnya, ia diputus bersalah melakukan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 82 ayat (2) UU tentang Perlindungan Anak dan dijatuhi pidana penjara selama 7 tahun oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Pontianak sebagaimana Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor 182/Pid.Sus/2023/PN Ptk, tanggal 22 Agustus 2023.
Penasihat Hukum Muhammad Rue Savaelja, Eka Kurnia Chrislianto mengatakan, alasan kasasi yang diajukannya antara lain Majelis Hakim tingkat pertama yang dikuatkan oleh Majelis Hakim tingkat banding menyatakan Rue terbukti melakukan perbuatan cabul berdasarkan alat bukti petunjuk yang didapatkan dari keterangan ahli.
"Pengadilan Negeri Pontianak dan Pengadilan Tinggi Pontianak telah salah dalam menerapkan hukum dan melanggar ketentuan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 188 KUHAP," kata Eka dalam keterangannya, Selasa, 6 Agustus 2024.
Namun, lanjutnya, jawaban Mahkamah Agung, dalam hal ini Majelis Kasasi yang dipimpin oleh Hakim Agung Desnayeti tersebut bahwa kasasi terdakwa berkenaan dengan penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan.
Lanjut Eka, alasan kasasi yang demikian tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi, karena pemeriksaan pada tingkat kasasi hanya berkenaan dengan tidak menerapkan hukum atau peraturan hukum tidak diterapkan sebagaimana mestinya.
Ia mengaku mengapresiasi putusan Mahkamah Agung tersebut dan pihaknya masih terus melakukan kajian untuk upaya hukum lainnya yang relevan dan konkret.
"Perlu kembali kami tegaskan bahwa, adanya adagium dalam hukum yang berbunyi: Res Judicata Pro Veritate Habetur yang artinya `putusan hakim harus dianggap benar`. Proses Kasasi telah diputus dan sudah berkekuatan hukum tetap," ujarnya.
"Kami angkat topi untuk Mahkamah Agung. Kekecewaan itu pasti ada, karena MA di sini justru mengabaikan poin penting dalam Memori Kasasi kami yaitu Kesalahan Penerapan Hukum Pembuktian dalam Pertimbangan Hukum Majelis Tingkat Pertama dan Majelis Tingkat Banding. Jadi, sedikit lucu apabila dikatakan penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan," sambungnya.
Menurutnya, sangat tidak adil apabila pemohon kasasi yaitu Muhammad Rue dikatakan bahwa terdakwalah yang melakukan kekerasan sebagaimana Pasal 82 ayat (2) UU tentang Perlindungan Anak.
"Dengan pertimbangan pada penglihatan dan pendengaran majelis hakim di persidangan, anak korban dapat menerangkan dengan lugas bahwa pelaku yang mencolokkan jari tangan ke dalam vagina korban adalah Terdakwa, kemudian disebutkan terdapat bukti petunjuk berdasarkan keterangan-keterangan saksi dan juga ahli. Padahal diketahui bahwa dalam hukum pidana dikenal teori ‘tiada pidana tanpa kesalahan yang berarti’, bahwa setiap perbuatan pidana selalu didasarkan pada kesalahan seseorang," ucap Eka.
Sementara, ibu terdakwa DA juga menyampaikan keluh kesahnya saat ini, bahwa ia tidak dapat menerima putusan tersebut dengan lapang dada karena yang dia yakini bahwa anaknya tidak pernah melakukan perbuatan sebagaimana yang dituduhkan padanya.
"Karena putusan tersebut sampai hari ini saya sebagai seorang ibu yang begitu tahu dan dapat melihat kejujuran anak saya bahkan proses dari awal juga saya tahu, saya ada rekaman anak saya dipaksa untuk jadi tersangka. Sekarang dia menderita dan dihukum atas perbuatan yang sampai saat ini, perbuatan itu tidak pernah dia lakukan," DA.
Dia menyatakan sudah melaporkan kembali ke Polri terkait dengan dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Aparat Polresta Pontianak, akan tetapi laporannya ditutup dengan alasan sudah dilakukan pemeriksaan.
"Saya masih akan terus berteriak demi keadilan dan kebenaran untuk anak saya, saya akan lakukan apa pun agar tidak ada lagi ibu-ibu di luar sana yang merasakan hal yang serupa," ucapnya.[]