News Minggu, 28 November 2021 | 20:11

Putusan MK terkait UU Cipta Kerja Ambigu, Timbulkan Ketidakpastian Hukum

Lihat Foto Putusan MK terkait UU Cipta Kerja Ambigu, Timbulkan Ketidakpastian Hukum Massa penolak Omnibus Law UU Cipta Kerja. (foto: Tempo.co).

Jakarta - Direktur Eksekutif Aktivis Hukum Milenial, Goldy Christian memandang amar putusan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, justru memberikan ketidakpastian hukum terhadap suatu putusan yang bersifat final dan binding. 

Menurut Goldy, pada proses terciptanya Undang-Undang Cipta Kerja memang menuai polemik, bahkan telah menyalahi aturan baik dari syarat formilnya maupun materielnya. 

“Perwakilan masyarakat, publik ataupun akademisi tidak sepenuhnya juga dilibatkan untuk menciptakan UU Cipta Kerja, bahkan UU ini dibentuk juga penuh sarat kepentingan baik dari para pengusaha maupun investor,” ujar Goldy Christian dalam keterangan tertulis dikutip Opsi, Minggu, 28 November 2021.

Amar putusan UU Cipta Kerja yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 oleh MK, kata Goldy, seakan ingin memberikan ruang untuk mengakomodir beberapa pihak yang berkepentingan. Sehingga, lanjutnya, putusan tersebut menimbulkan inkonsistensi putusan, ketidakpastian hukum, hingga mengakibatkan permasalahan hukum yang baru.

"Inkonsistensi dan ketidakpastian hukum tersebut dapat kita lihat dengan diberikannya masa waktu dua tahun perbaikan UU Cipta Kerja tersebut dan jika dalam jangka waktu tersebut tidak diperbaiki, maka UU Cipta Kerja secara permanen inkonstitusional atau bertentangan terhadap Undang-Undang Dasar 1945," ucapnya.

Menurut Goldy, ketidakpastian hukum terhadap putusan tersebut adalah masih berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan dengan tenggang waktu paling lama dua tahun sejak putusan, dengan alasan sudah banyak diterbitkan aturan pelaksanaan dan telah pula diimplementasikan. 

"Hal ini menjadikan putusan tersebut ambigu," ujar dia.

Goldy pun menyarankan, supaya tidak terjadi inkonsistensi ataupun ambiguitas terhadap putusan, MK seharusnya tegas membatalkan Undang-Undang tersebut agar nantinya tidak multi tafsir dengan adanya kekosongan hukum terhadap putusan tersebut sehingga objek formil dan materiel yang diuji mendapatkan kepastian hukum.

"Dari 12 putusan yang dibacakan, MK menyatakan 10 (sepuluh) di antaranya `kehilangan objek` karena Putusan MK sudah menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Catatan kritisnya objek mana yang hilang dan meskipun inkonstitusional, MK masih memberlakukan UU tersebut selama 2 tahun. Sehingga isi UU tersebut tetap berlaku dan digunakan oleh berbagai pihak yang berkepentingan," katanya.

Di sisi lain, Goldy berpendapat, dengan inkonsistensi putusan tersebut, MK malah membatasi hak warga negara dengan menghalangi hak konstitusional yang akan mengajukan uji materiel terhadap muatan UU Cipta Kerja tersebut.

“Putusan hakim MK tersebut memang sangat menarik untuk dikritisi dikarenakan baru kali ini adanya yurisprudensi hakim MK yang membatalkan UU yang bertentangan UUD 1945, tetapi memberikan syarat untuk diperbaiki yang mengakibatkan adanya ketidakpastian hukum dan rahasia umum bahwa putusan hakim MK selalu memberikan kepastian hukum, yang mana seperti kita ketahui seyogianya putusan hakim itu harus mengikat dengan kepastian hukum agar bermanfaat dengan baik bagi warga negara untuk terciptanya keadilan,” ujar Goldy Christian.

Sementara, David Sitorus mengapresiasi apa yang telah diputuskan oleh hakim MK ia lihat sudah final dan berkekuatan hukum tetap dan harus dihormati. Namun, tetap tidak boleh lupa untuk mengkritisi apa yang telah menjadi yurisprudensi dari putusan tersebut.

“Hal yang perlu dilakukan oleh Eksekutif dan Legislatif adalah untuk segera melakukan perubahan terhadap UU Cipta Kerja tersebut yang pada saat proses pembentukannya menggunakan konsep Omnibus Law, agar nantinya substansi materil UU tersebut betul-betul baku dan betul-betul diperbaiki,” ujar David Sitorus.

"Materi UU Cipta Kerja juga nantinya haruslah mengedepankan asas kepentingan umum dan bukan berpihak pada kepentingan orang tertentu ataupun para pengusaha, investor maupun investasi demi kedaulatan rakyat, ucapnya.

Sebelumnya, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.

"Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai `tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan ini diucapkan`," kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan yang disiarkan secara langsung di kanal YouTube Mahkamah Konstitusi RI dan dikutip Opsi, Jumat, 26 November 2021. []

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya