Jakarta - Ketua Umum Koalisi Persaudaraan dan Advokasi Umat (KPAU) Ahmad Khozinuddin menyebut rezim Presiden Joko Widodo atau Jokowi nirprestasi, maka itu menjadikan isu radikal sebagai propaganda politik pemerintah yang memang dinilainya sudah gagal di segala lini.
Menurutnya, di era Jokowi ini kohesi sosial semakin menjadi-jadi, dibuktikan dengan meningginya kata-kata hinaan berupa cebong versus kadrun/kampret di sosial media (sosmed).
"Kita mau lihat prestasinya dari mana? Ekonomi jebol, penanggulangan pandemi kacau, utang menumpuk, kohesi sosial di tengah masyarakat sepanjang kita hidup di bangsa Indonesia ini kan pembelahan publik ya terjadi luar biasa di rezim Jokowi ini," kata Ahmad dikutip Opsi dari kanal YouTube Pusat Kajian dan Analisis Data, Selasa, 8 Maret 2022.
Baca juga: Ustaz Abdul Somad dan Felix Siauw Masuk Daftar Penceramah Radikal
Menurutnya, hal itu menunjukkan nyaris di dalam semua aspek dimensi kehidupan bernegara, rezim Jokowi gagal. Maka itu, kata Ahmad, butuh satu langkah politik untuk ada yang `dikambinghitamkan`, dengan membangun kesadaran semu masyarakat tentang adanya command enemy.
Namun, di sisi bersamaan dengan mencuatnya isu radikal, permasalahan utama seperti ekonomi, korupsi, dan utang menggunung itu tidak dijadikan sorotan utama.
"Sekaligus mengajak rakyat untuk mengalihkan pikiran pandangannya tentang problem berbangsa yang sesungguhnya masalah korupsi, ekonomi, utang, masalah minyak goreng, itu problem yang dirasakan rakyat," kata dia.
"Tapi ingin dialihkan kepada command enemy, musuh bersama orang-orang radikal, penceramah radikal, sukses pemerintah tangkap orang radikal, membuat orang radikal tidak berkutik, karena mereka ingin ganti Pancasila mereka yang anti NKRI," ujar dia lagi.
Baca juga: PA 212: Pemaksaan Jokowi 3 Periode Bisa Perang Saudara
Dia menilai sangatlah subjektif tatkala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) memberikan 5 kriteria tentang penceramah radikal, yang menurutnya tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk membuat definisi radikal.
"Dia tidak bisa merujuk undang-undang apa yang digunakan, dia tidak bisa merujuk pasal berapa yang memberikan batasan unsur-unsur seperti yang dikemukakan. Selain itu apa yang disampaikan BNPT rawan menjadi alat propaganda politik dan stigma politik," kata Ahmad.
"Akhirnya ini ada suatu motif politik. Jadi apa yang dilakukan BNPT bukan lagi alat untuk menegakkan hukum, tapi menjadi propaganda politik," ucapnya menambahkan. []