News Jum'at, 01 September 2023 | 23:09

Minta Pemerintah Tindak Tegas Tambang di Aceh Selatan, Rafly: Evaluasi Perizinan PT BMU

Lihat Foto Minta Pemerintah Tindak Tegas Tambang di Aceh Selatan, Rafly: Evaluasi Perizinan PT BMU Anggota Komisi VI DPR RI, Rafli Kande. (Foto: Istimewa)

Jakarta - Kasus penolakan izin tambang untuk PT Beri Mineral Utama (BMU) di Aceh Selatan menjadi isu nasional dalam sepekan terakhir. Keberadaan perusahaan tambang di Manggamat, Kecamatan Kluet Tengah itu dianggap ilegal dan telah memantik kemarahan warga hingga terjadi penolakan masif dalam bentuk demonstrasi.

Warga setempat, mahasiswa, hingga aktivis lingkungan menyebut eksploitasi yang dilakukan perusahaan itu tidak sesuai izin yang dikantongi dan telah menimbulkan kerusakan lingkungan alam dan kehidupan sosial di sekitar kawasan tambang.

Demonstrasi massa tidak hanya dilakukan di Aceh Selatan, namun juga di Kantor Gubernur di Banda Aceh. Para pedemo mendesak agar pemerintah kabupaten dan pemerintah provinsi segera mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) Produksi milik PT. BMU.

Merespons itu, Anggota DPR RI asal Aceh, Rafly Kande mengatakan bahwa masyarakat Kluet telah meluapkan kekesalan kepada dirinya selaku Anggota Komisi VI DPR RI.

Atas berbagai keluhan dan pandangan yang telah diterimanya, ia berpandangan bahwa pemerintah perlu segera mengambil tindakan tegas terkait izin usaha pertambangan milik PT BMU.

"Secara personal dan lembaga dan kontribusi saya selama ini, saya tentu ingin persoalan PT BMU ini tuntas. Pemerintah perlu mengambil tindakan tegas dan mengevaluasi terkait perizinan PT BMU ini," kata Rafly seperti meneruskan keterangannya, Jumat, 1 September 2023.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sekaligus penyanyi ini mengungkapkan, keluhan masyarakat perihal tambang PT. BMU sudah berlangsung sejak Mei 2023.

Dimulai dari peneliti dari Pusat Kajian Analisis Transaksi (PuKAT) Aceh Selatan, laporan Masyarakat terkait pencemaran lingkungan, tinjauan tim evaluasi tambang Aceh, sampai pada puncaknya demonstrasi massa yang terjadi sekarang ini.

Pemerintah Aceh, lanjutnya, melalui Surat Kepala Dinas ESDM dengan Nomor 540/343 tanggal 3 April 2023 memberikan teguran berupa sanksi administratif peringatan pertama kepada PT. BMU.

"Akan tetapi, perusahaan tersebut justru melaksanakan kegiatan operasional sampai terjadinya gejolak penolakan secara masif," ujarnya.

Dalam surat tersebut menjelaskan bahwa PT. BMU memegang izin Bupati Aceh Selatan Nomor: 52 Tahun 2012 untuk usaha pertambangan bijih besi. Perusahaan tidak memiliki izin untuk menambang emas.

"Ini bertentangan Pasal 158 dan Pasal 161 Undang-undang Nomor: 3 Tahun 2020 tentang perubahan atas UU Nomor: 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara," kata tuturnya.

Hal yang mencengangkan lagi katanya, sambungnya, sebagaimana disampaikan oleh Kabid Pelayanan dan Perizinan B DPMPTSP Aceh, Marzuki, hasil evaluasi dan verifikasi faktual menunjukkan PT. BMU menambang emas.

"Padahal, izinnya menambang bijih besi. Terdapat beberapa pelanggaran seperti adanya kolam perendaman dan lubang-lubang bekas galian," kata Rafly.

Khalayak umum dapat mengakses data IUP milik PT. BMU melalui situs MOMI Minerba dan MODI Kementerian Energi Sumber Daya Mineral.

Tercatat bahwa Luasan Izin yang diberikan oleh Pemerintah yaitu 1.000 Hektar yang ditandatangani oleh Bupati Aceh Selatan melalui SK Nomor 52 TAHUN 2012 yang berlaku dari 124/1/2012 sampai 24/1/2023dengan komoditas bijih besi.

Izin pertambangan tersebut diberikan 6 tahun setelah UU Pemerintah Aceh disahkan, dan sebelum Qanun No. Qanun No. 15 Tahun 2013 di mana pemerintah kabupaten memiliki kewenangan penuh menerbitkan perizinan di wilayah Aceh.

"Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh melalui regulasinya harus segera bertindak dengan sangat tegas bersama penegak hukum atas temuan-temuan pelanggaran izin tambang dengan segera tanpa pandang bulu," tukasnya.

Pasalnya, pengusahaan minerba merupakan kebijakan strategis nasional yang harus dijalankan oleh negara sesuai UUD 1945 dan harus mendatangkan manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat.

"Sektor minerba dapat meningkatkan Pendapatan Asli Aceh. Pengelolaannya harus taat pada peraturan perundang-undangan dan kaidah keilmuan. Industri ini tidak bisa dikelola secara main-main, karena memiliki modal besar, sumber daya kompeten, teknologi canggih, dan risiko tinggi," ucapnya.

"Aktivitas pertambangan juga mengubah keadaan lingkungan, sehingga perlu penanganan khusus dengan menerapkan program perlindungan dan pemulihan lingkungan. Hal tersebut bertujuan agar alam tetap memberikan ruang hijau untuk dinikmati oleh segenap makhluk hidup," sambung Rafly.

Para pemegang IUP dituntut harus menjalankan Good Mining Practice (GMP) sebagaimana Peraturan Menteri ESDM No. 26 Tahun 2018 di mana menekankan pada Pengelolaan lingkungan hidup yang dibuktikan di lapangan dan laporan pertanggung jawaban.

Terkhusus bagi Aceh, pemberian IUP terhadap PT. BMU dirasa menjadi pelajaran untuk memastikan koordinasi yang kuat antara Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat agar regulasi benar-benar ditegakkan.

"Publik wajib tahu seperti apa pelaksanaan pemulihan lingkungan dan tanggung jawab sosial oleh PT. BMU, termasuk perusahaan tambang yang beroperasi di Aceh. Jika tidak sesuai regulasi, maka pemerintah wajib berikan sanksi, bahkan pencabutan izin," katanya.

Lantas, ia mendesak Pemerintah Pusat melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Badan Koordinasi Penanaman Modal RI dengan regulasinya harus memberikan respons konkret atas upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Aceh terhadap izin tambang di wilayah Aceh.

Dia juga meminta Pemerintah Aceh untuk pro-aktif terhadap izin tambang yang berasal dari Penanaman Modal Asing (PMA) di wilayah Aceh. Hal ini bertujuan untuk memastikan pengelolaan tambang-tambang asing itu sesuai standarisasi, dan menghormati kekhususan Aceh.

"Kolaborasi aktif Pemerintah Aceh dan Perusahaan Asing menjadi katalisator untuk transfer teknologi, peningkatan kapasitas sumber daya manusia, termasuk juga keterlibatan porsi saham kepada perusahaan pemerintah daerah. Supaya tercipta pengawasan yang berimbang atas data-data temuan seberapa besar potensi sumber daya dan cadangan dalam WIUP yang ditertibkan," ujarnya.

Sebagai masukan, Rafly mengajak elemen Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat untuk membentuk Badan Pengelolaan Pertambangan Minerba Aceh agar memperkuat pelaksanaan kekhususan Aceh, sehingga proses koordinasi, pelaksanaan, dan pengawasan terlaksana efektif, efisien, dan tercipta transparansi kepada rakyat Aceh.

Dalam catatannya dari sumber informasi yang valid, PAD Aceh bidang Pertambangan dan Migas yaitu sekitar Rp 1 triliun. Bila sektor ini dikelola dengan baik, lanjutnya, maka berpotensi mendatangkan kesejahteraan bagi Aceh sehingga bisa meningkatkan kapasitas sumber daya manusia dan dan pembangunan ekonomi rakyat.

"Di parlemen pusat selalu saya tegaskan di dalam rapat komisi dan paripurna bahwa optimalisasi SDA dan dan SDM adalah bagian terpenting untuk menuju kemandirian Aceh dalam martabat pusat itu sendiri," ucap Rafly Kande.[]

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya