Jakarta - Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Kalimantan Timur, Herdiansyah Hamzah mengamati beberapa pasal bermasalah dalam UU Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara yang telah disahkan DPR RI, Selasa, 18 Januari 2022 kemarin.
Menurut Herdiansyah, ada sejumlah pasal UU IKN yang menyimpan masalah, bukan saja secara secara materiil, namun juga secara formil. Dia menyebut, sejumlah pasal dinilai bertentangan dengan UU soal status kekhususan IKN Nusantara.
Lebih lanjut, sambungnya, ada juga pasal soal kepala otorita IKN, yang setingkat menteri untuk memimpin ibu kota. Begitu pula, soal mekanisme pembiayaan infrastruktur ibu kota baru yang hanya 10 persen dari APBN.
"Kalau kita klasifikasi kan itu banyak problem di sana. Tapi saya menyebutkan hal-hal relatif vital dan penting didiskusikan," kata Mulawarman mengutip catatan CNNIndonesia.com, Jumat, 21 Januari 2022.
Berikut beberapa pasal yang dianggap bermasalah secara materiil maupun secara formil;
Pasal 4 Ayat 1 Soal Bentuk IKN
Mengenai status kekhususan IKN Nusantara sebagai pemerintah daerah khusus, Herdiansyah mengkritisi pasal 4 ayat 1 UU IKN. Menurutnya, status itu harusnya dibentuk melalui UU otonomi baru.
Ia terutama menyoroti frase "pemerintahan daerah khusus" dalam ayat tersebut yang berbunyi, "Otorita IKN Nusantara sebagai lembaga setingkat kementerian yang menyelenggarakan Pemerintahan Daerah Khusus IKN Nusantara".
"Yang namanya pemerintahan daerah khusus, artinya kan ini kemungkinan besar, mesti dieksekusi melalui daerah otonomi baru kan," ujarnya.
Dia mengatakan, pembahasan soal daerah otonomi tak masuk akal. Sebab, pembahasan UU IKN itu hanya dilakukan selama 43 hari.
Lantas dia menegaskan bahwa seharusnya daerah otonomi khusus harus memenuhi sejumlah syarat seperti, kemampuan fiskal, jumlah daerah administrasi, maupun dari aspek budaya dan politik.
"Jadi kalau yang dibayangkan pembentuk UU bakal cepat itu akan memakan waktu cukup panjang. Itu problemnya yang lahir di ketentuan yang versi 18 Januari ini," tuturnya.
Pasal 5 Ayat 3 Soal Pemilu di IKN
Pasal 5 ayat 3 mengatur soal kekhususan pemilu di IKN Nusantara. Merujuk pasal tersebut, warga di IKN Nusantara hanya akan mengikuti pemilu tingkat nasional, yakni pemilihan presiden, DPR, dan DPD.
Menurut Herdiansyah, ketentuan tersebut bermasalah sebab menyunat hak warga dalam memilih maupun dipilih sesuatu amanat demokrasi. Dia pun menyebut pasal tersebut inkonstitusional.
"Jadi ketentuan pasal 5 ayat 3 itu juga menurut saya justru inkonstitusional, kalau bicara soal hak politik warga negara yang tiba-tiba dihilangkan begitu saja," katanya.
Pasal 9-10 Soal Status Kepala Otorita
Pasal 9 ayat 1 UU IKN mengatur soal status Kepala Otorita IKN yang diangkat langsung oleh Presiden dengan melalui konsultasi DPR.
Herdiansyah menganggap UU tersebut telah mengabaikan peran DPR dalam penunjukan pemimpin ibu kota baru. Sebab, frase "konsultasi" dalam pasal tersebut hanya bersifat masukan. Artinya, kata dia, presiden boleh mendengar atau pun tidak, hasil masukan dari DPR soal pemimpin ibu kota baru.
Pasal 9 ayat 1, kata Herdiansyah menunjukkan pemerintah semakin ingin membentuk pemerintahan sentralistik di IKN Nusantara.
"Itu yang kita anggap tetap bertumpu pada desain sentralistik dalam UU ini. Jadi fungsi kontrol setidaknya di DPR itu jadi dinihilkan," kata dia.
Begitupula di pasal berikutnya, pasal 10 soal pemberhentian Kepala Otorita IKN. Herdiansyah menilai pasal tersebut tak konsisten sebab presiden justru memiliki wewenang penuh dalam memberhentikan Kepala Otorita IKN tanpa konsultasi DPR.
Sementara, masih di pasal yang sama, UU IKN justru tak mengatur maksimal masa jabatan kepala Otorita IKN. Menurut Herdiansyah, tak ada ketentuan di UU IKN yang mengatur masa jabatan Kepala Otorita.
IKN `Nusantara`, Makna Sejarah Menyempit hingga Ambisi Nama Abadi
Ia khawatir ketentuan maksimal masa jabatan yang tidak diatur hanya akan membuka potensi lahirnya otoritarianisme. Menurut dia, pemerintah tidak belajar pada 32 tahun kepemimpinan orde baru yang pada akhirnya memicu kemarahan masyarakat lewat reformasi.
"Jadi kritik kami ketiadaan pembatasan masa kekuasaan untuk kepala otorita itu akan menjadi problem. Itu menandakan ada desain sentralistik yang sedang coba ditanamkan dalam RUU," kata dia.
Pasal 24 Ayat 1 Soal Pembiayaan
Pasal 24 ayat 1 mengatur soal mekanisme pembiayaan selama proses pemindahan dan pembangunan IKN Nusantara di Kalimantan Timur. Pasal itu menyebut dua sumber pembiayaan pembangunan IKN berasal dari APBN dan sumber lain yang sah.
Herdiansyah mengkritik pasal tersebut karena tak membatasi sumber pembiayaan dari luar APBN. Padahal mestinya, kata dia, di luar pembiayaan APBN, sumber dari swasta harus diatur dengan jelas.
Ia khawatir ketiadaan pembayaran hanya melahirkan praktik transaksaksional antara pemerintah dengan para pengusaha. Terlebih, pembiayaan IKN Nusantara akan melawan biaya tak sedikit hingga lebih dari Rp466 triliun.
"Jadi kalau kontribusi swasta sampai 90 persen tidak mungkin dia hanya investasi tanpa ada imbal balik," ucap Mulawarman.[] (CNNIndonesia.com)