Medan - Pendiri Suluh Muda Indonesia (SMI) yang juga Analis Anggaran FITRA Sumut, Elfenda Ananda menilai, Rancangan APBD 2026 Provinsi Sumut bikinan Gubernur Bobby Nasution, mencakup sisi pendapatan dan belanja, belum berpihak kepada rakyat.
APBD kata dia, seharusnya menjadi instrumen utama untuk mewujudkan kesejahteraan publik dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.
"Namun, membaca data APBD 2026, yang mencakup sisi pendapatan dan belanja, terlihat jelas bahwa fiskal daerah masih belum berpihak kepada rakyat," kata Elfenda dalam keterangan tertulisnya, Jumat, 14 November 2025.
Dia mengungkap, data pendapatan daerah tahun anggaran 2026 sebesar Rp 11,67 triliun berkurang sebesar Rp 873,44 miliar (6,96%) dibanding tahun 2025 sebesar Rp 12,54 triliun, menyingkap ironi meski Pendapatan Asli Daerah (PAD) tahun 2026 sebesar Rp 6,97 triliun naik sebesar Rp 550,13 miliar dibanding tahun 2025 sebesar Rp 6,41 miliar.
"Total pendapatan justru turun signifikan hingga 6,96 persen. Angka ini memperlihatkan kerapuhan struktur fiskal daerah dan ketergantungan tinggi terhadap transfer pusat yang kini menurun tajam," urai dia.
Secara nominal kata Elfenda, PAD naik dari Rp 6,41 triliun menjadi Rp 6,97 triliun atau meningkat 8,57 persen.
Namun, kenaikan ini bukan hasil terobosan ekonomi daerah, melainkan karena penyesuaian administratif khususnya dari target pajak daerah tahun 2026 sebesar Rp 6,24 triliun naik sebesar Rp 629,77 miliar (11,24%) dibanding tahun 2025 sebesar Rp 5,60 triliun, dan retribusi daerah tahun 2026 sebesar Rp 244,04 miliar (26,23%) naik sebesar Rp 50,70 miliar dibanding tahun 2025 sebesar Rp 193 miliar.
Disebutnya, di atas kertas terlihat positif, namun dua hal patut dicermati, yakni pajak daerah melonjak karena kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi, bukan ekspansi basis ekonomi produktif.
"Artinya, masyarakat dan pelaku usaha menanggung beban fiskal lebih berat, sementara kualitas layanan publik belum meningkat signifikan," tegasnya.
Kemudian, retribusi daerah memang naik 26,23 persen, tapi secara nominal hanya bertambah Rp 50 miliar, terlalu kecil untuk menunjukkan dampak struktural terhadap kemandirian fiskal.
Kenaikan ini lebih tepat disebut pertumbuhan nominal tanpa basis ekonomi. PAD memang meningkat, tetapi belum menggambarkan pertumbuhan nyata sektor riil.
Fakta paling mencolok kata dia, adalah turunnya pendapatan transfer dari tahun 2025 Rp 5,76 triliun menjadi Rp 4,68 triliun pada tahun 2026 atau turun 18,69 persen.
Penurunan ini bisa berarti bahwa kebijakan fiskal pusat menekan ruang fiskal daerah dengan mengurangi DAU/DBH atau, penyerapan dan kinerja program daerah menurun, sehingga porsi transfer yang diterima ikut berkurang.
"Keduanya sama-sama berisiko. Daerah dengan struktur pendapatan yang masih bergantung pada dana pusat akan menghadapi ketidakstabilan fiskal tinggi dan kerentanan terhadap perubahan kebijakan nasional," terangnya.
Berikutnya kata Elfenda, komponen lain-lain pendapatan daerah yang sah anjlok tajam dari Rp 360,85 miliar menjadi hanya Rp 14,8 miliar, turun sebesar Rp 346,05 miliar atau 95,9 persen.
Bagian terbesar dari penurunan ini berasal dari pos lain-lain pendapatan sesuai ketentuan peraturan perundangan, yang amblas 97,6 persen.
Angka ini menimbulkan pertanyaan serius, kata Elfenda.
"Apakah terjadi pembersihan pos anggaran tidak jelas (non-tax revenue) atau ada penurunan aktivitas kerja sama dan investasi daerah yang selama ini menjadi sumber tambahan?" tukasnya.
Menurutnya, jika ini hasil perbaikan akuntabilitas, patut diapresiasi. Tapi jika karena lemahnya manajemen pendapatan, maka daerah sedang kehilangan salah satu sumber fleksibilitas fiskal terpenting.
Penurunan total pendapatan dari Rp 12,54 triliun menjadi Rp 11,67 triliun, sambung dia, menandakan kontraksi fiskal sebesar Rp 873 miliar (−6,96%).
"Pertanyaannya, apakah ini hasil strategi pemprovsu dalam rangka efisiensi, atau memang ada tanda-tanda krisis penerimaan daerah," sebutnya.
Melihat komposisi di atas, menurut dia, penurunan ini bukan efisiensi, melainkan hilangnya sumber dana eksternal (transfer dan lain-lain pendapatan sah) tanpa kompensasi peningkatan PAD yang memadai.
Artinya, daerah gagal mengantisipasi fluktuasi pendapatan pusat dan belum memiliki strategi diversifikasi sumber penerimaan jangka panjang.
Dengan PAD sekitar Rp 6,9 triliun dari total pendapatan Rp 11,6 triliun, imbuh Elfenda, tingkat kemandirian fiskal hanya sekitar 59,7 persen.
Namun, sebagian besar PAD tersebut bersumber dari pajak kendaraan, Bea Balik Nama, Pajak Bahan Bakar kenderaan bermotor, air permukaan dan sebagainya. Tanpa transformasi ekonomi daerah, angka ini tidak akan bertahan lama.
Angka-angka dalam APBD pendapatan daerah 2025–2026 bukan sekadar data fiskal, tetapi indikator arah politik anggaran daerah.
Pemerintah daerah menurut dia, tampak masih bergantung pada pusat, tanpa inovasi nyata untuk memperluas basis ekonomi dan menggali potensi pendapatan baru.
Kenaikan pajak tanpa pertumbuhan ekonomi, disertai turunnya transfer pusat dan hilangnya pendapatan sah lainnya, adalah kombinasi berbahaya bagi stabilitas fiskal daerah.
Dia berpandangan, daerah harus berani keluar dari zona nyaman ketergantungan fiskal dan mulai membangun model kemandirian ekonomi yang berkelanjutan.
Belanja daerah tahun 2026 ditargetkan sebesar Rp 11.67 triliun, turun sebesar Rp 834,43 miliar (-6,67%) dibanding tahun 2025 sebesar Rp 12,5 triliun.
"Turunnya belanja derah ini berdampak negatif pada pelayanan publik," katanya, seraya membeberkan bagan porsi anggaran dalam RAPBD 2026.
|
Jenis Belanja |
Jumlah |
% |
|
|
Belanja Menurut Fungsi |
RPAPBD 2026 |
||
|
|
Pelayanan Umum |
8.114.160.534.706,43 |
69,53% |
|
|
Ketertiban dan Keamanan |
13.910.735.012,00 |
0,12% |
|
|
Ekonomi |
1.570.965.603.966,77 |
13,46% |
|
|
Lingkungan Hidup |
21.412.379.135,09 |
0,18% |
|
|
Perumahan dan Fasilitas Umum |
22.709.297.800,00 |
0,19% |
|
|
Kesehatan |
336.247.981.953,00 |
2,88% |
|
|
Pariwisata |
26.585.609.900,00 |
0,23% |
|
|
Pendidikan |
1.520.418.612.162,00 |
13,03% |
|
|
Perlindungan Sosial |
43.790.935.725,71 |
0,38% |
|
|
Jumlah |
11.670.201.690.361,00 |
100% |
Porsi Pelayanan Umum 69,53% sangat tidak wajar dan mengindikasikan distorsi Prioritas. Standar nasional mengharuskan komposisi belanja fungsi pelayanan umum berada pada kisaran 30–40%, bukan 70%.
Ketika angkanya mencapai 69,53%, ini menunjukkan bahwa belanja birokrasi sangat gemuk, termasuk belanja pegawai, administrasi umum, perjalanan dinas, operasional rutin SKPD.
Sedangkan porsi untuk layanan publik langsung, seperti pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial tertindih oleh biaya aparatur.
Dan ini tidak sesuai dengan prinsip money follow program (Permendagri 77/2020). Ini adalah salah satu indikator ketidakefisienan struktural dalam APBD.
Fungsi ekonomi 13,46% di bawah ideal. Fungsi ekonomi mencakup pembangunan infrastruktur ekonomi, pemberdayaan usaha, ketahanan pangan, pertanian, UMKM, perdagangan, dan pasar.
Untuk daerah, porsi ideal fungsi ekonomi berkisar 20–25%. Dengan hanya 13,46%, ini menunjukkan rendahnya dukungan untuk pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
"Pembangunan produktif kalah dari belanja aparatur. Efek multiplier ekonomi menjadi lemah," tandasnya.
Sektor pendidikan 13,03%, ini jelas menurut dia, melanggar mandat 20% (UU 20/2003).
UU Sistem Pendidikan Nasional mewajibkan 20% APBD dialokasikan untuk fungsi pendidikan.
Dengan angka hanya 13,03%, maka ini melanggar ketentuan mandatory spending, Pemda dapat dianggap tidak mematuhi amanat konstitusi. Prioritas sektor pendidikan tampak tidak dihormati.
Walaupun sebagian belanja pegawai guru mungkin dicatat di bawah fungsi “Pelayanan Umum”, secara metodologis ini seharusnya dikelompokkan sebagai fungsi pendidikan.
Tidak sesuai dengan prioritas pertama pembangunan Sumut tahun 2026, yaitu pemberian bantuan uang sekolah gratis kepada siswa SMA/SMK/SLB untuk mengurangi beban keluarga, pembangunan sekolah unggulan, rehabilitasi ruang sekolah dan sarana prasarana pendidikan, pembangunan ruang kelas baru dan pengadaan meubiler di SMA/SMK/SLB, peningkatan kualitas guru, peningkatan kualitas dan mutu kurikulum serta digitalisasi pembelajaran, penyediaan fasilitas perpustakaan sekolah.
Kesehatan 2,88%, jauh di bawah wajib 10%. UU Kesehatan dan regulasi keuangan daerah menetapkan standar minimal 10% APBD (di luar gaji) untuk fungsi kesehatan.
Dengan hanya 2,88%, maka Pemda melanggar mandatory spending kesehatan. Layanan dasar kesehatan dipastikan akan underfunded.
Komitmen terhadap pelayanan publik sangat rendah. Tidak sesuai dengan prioritas kedua pembangunan, penguatan universal health coverage (uhc), memastikan tidak ada masyarakat kurang mampu tidak dapat berobat karena biaya, pemberian bea siswa ikatan dinas bagi dokter spesialis dsb.
Perlindungan Sosial 0,38%, menunjukkan pengabaian kelompok rentan. Anggaran perlinsos idealnya 3–5% APBD, terutama untuk penyandang disabilitas, kemiskinan ekstrem, perlindungan anak & lansia, bantuan sosial daerah.
Dengan hanya 0,38%, itu berarti daerah sangat tidak responsif terhadap kelompok rentan, tidak ada intervensi memadai bagi kemiskinan dan keterpurukan sosial. Rentan dikritik secara moral dan politik.
Fungsi Lingkungan Hidup 0,18% mengindikasikan krisis governance lingkungan. Standarnya 1–3% saja sudah dianggap rendah. Tapi 0,18% itu ekstrem, dan mengindikasikan tidak ada perhatian pada persoalan tata ruang, air, polusi, tata ruang, dan perubahan iklim, ketidaksiapan menghadapi banjir, longsor, dan risiko katastrofik lain.
Fungsi Perumahan dan Fasilitas Umum 0,19% atau hampir nol. Sektor ini idealnya 3–6% dari APBD, termasuk jalan permukiman, air minum, sanitasi, drainase.
Dengan hanya 0,19%, berarti tidak ada komitmen pembangunan infrastruktur dasar warga miskin, permukiman kumuh tidak akan berkurang bahkan kemungkinan bertambah. Akses air dan sanitasi akan stagnan.
Fungsi Pariwisata 0,23% tidak sejalan dengan narasi pengembangan PAD. Jika daerah sering mengklaim pariwisata sebagai sektor unggulan, angka ini sangat kecil, tidak proporsional, tidak akan mampu menghasilkan dampak ekonomi.
"Secara struktur, APBD ini tidak berorientasi pada pelayanan publik, melainkan sangat bias pada belanja pegawai, belanja rutin, administrasi pemerintahan," kata Elfenda.
Dia menyebut, APBD 2026 di era Gubernur Bobby Nasution ini sangat tidak sehat, tidak efisien, tidak pro-masyarakat, dan melanggar dua mandatory spending utama, yakni pendidikan dan kesehatan.
Komposisi belanja didominasi hampir 70% untuk pelayanan umum level yang tidak lazim dan menunjukkan pemborosan aparatur.
Fungsi layanan publik dasar seperti kesehatan, pendidikan, lingkungan hidup, dan perlindungan sosial, justru menjadi korban pemangkasan ekstrem. []