Jakarta – Panitia Kerja (Panja) Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) menyepakati aturan penting bahwa pelaku tindak pidana dengan disabilitas mental atau intelektual berat tidak dapat dipidana.
Sebagai gantinya, mereka akan dikenai tindakan berupa rehabilitasi atau perawatan.
Kesepakatan progresif ini diambil dalam rapat Panja RKUHAP di Komisi III DPR, Jakarta, Rabu, 12 November 2025.
Aturan ini tercantum dalam Pasal 137A yang merupakan hasil usulan dari LBH Apik dan Koalisi Nasional Organisasi Disabilitas.
"Poin ini merupakan usulan dari LBH Apik dan Koalisi Nasional Organisasi Disabilitas. Mereka mengusulkan adanya pengaturan tambahan untuk menjamin pemberian keterangan secara bebas tanpa hambatan," ujar perwakilan tim perumus dan tim sinkronisasi RKUHAP, David.
Bunyi Lengkap Pasal 137A RKUHAP
Berikut adalah bunyi perubahan Pasal 137A yang disepakati:
· Ayat (1): "Terhadap pelaku tindak pidana yang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban karena penyandang disabilitas mental dan/atau intelektual berat sebagaimana dimaksud dalam KUHP, pengadilan dapat menetapkan tindakan berupa rehabilitasi atau perawatan."
· Ayat (2): "Mengatur bahwa tindakan tersebut ditetapkan dengan penetapan hakim dalam sidang terbuka untuk umum."
· Ayat (3): "Menegaskan bahwa penetapan tindakan itu bukan merupakan putusan pemidanaan."
· Ayat (4): "Menyebutkan tata cara pelaksanaan tindakan tersebut akan diatur dalam peraturan pemerintah."
David menjelaskan bahwa pasal ini mengakomodir hak penyandang disabilitas mental untuk mendapatkan rehabilitasi, bukan pemidanaan.
"Ini mengakomodir agar penyandang disabilitas mental mendapat rehabilitasi, bukan pemidanaan. Termasuk menyesuaikan dengan ketentuan dalam KUHAP," kata David.
Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Eddy Hiariej menyatakan pemerintah menyetujui usulan tersebut. Ia menegaskan bahwa ketentuan ini selaras dengan prinsip pertanggungjawaban pidana yang telah diatur dalam KUHP baru.
"Mohon maaf, Pak Ketua. Jadi, dalam KUHP itu Pasal 38 dan 39 tentang pertanggungjawaban pidana memang menyebutkan bahwa bagi penyandang disabilitas mental, mereka dianggap tidak mampu bertanggung jawab," ujarnya.
"Sehingga memang putusannya bukan pemidanaan, tetapi bisa merupakan suatu tindakan yang di dalamnya adalah rehabilitasi. Koalisi disabilitas juga sudah menemui kami, dan kami setuju dengan usulan dari LBH Apik ini," lanjut Eddy.
Dukungan juga datang dari anggota panja. Ketua Komisi III DPR sekaligus panja, Habiburokhman, menyatakan persetujuannya dengan alasan bahwa penyandang disabilitas mental tidak mungkin memiliki mens rea (niat jahat) dalam melakukan suatu tindak pidana.
"Kalau disabilitas mental ya iya, tidak ada mens rea. Benar, Prof Eddy (Wamenkum)?" tanya Habiburokhman.
"Iya,"jawab Eddy singkat.
"Kalau begitu oke,ketok ya," kata Habiburokhman yang menandai disahkannya pasal tersebut.
Kesepakatan ini dinilai sebagai langkah maju dalam sistem peradilan pidana Indonesia yang lebih mengedepankan keadilan restoratif dan pendekatan hak asasi manusia, khususnya bagi kelompok rentan seperti penyandang disabilitas.[]