Surakarta – Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI) mendapat apresiasi karena memasukkan tema nasib pekerja migran dalam Rapat Pimpinan Nasional dan Rapat Kerja Nasional di Surakarta, 29 Mei – 1 Juni 2025.
Peran Organisasi Pemuda dan Gereja dalam Meningkatkan Kapasitas Pekerja Migran’ menjadi salah satu bahasan dalam Studi Meeting Rapimnas-Rakernas GAMKI di Hotel Sahid Kusuma Prince Solo, Kamis, 29 Mei 2025.
”Saya sangat senang GAMKI mengangkat isu ini, karena soal pekerja migran ini bukan hanya menjadi isu internasional, tapi juga isu kemanusiaan dan isu keadilan,” kata aktivis tenaga kerja yang juga Koordinator BPJS Watch Timboel Siregar.
Timboel menjelaskan, di Hongkong misalnya, aktivis-aktivis yang menjadi penggerak perjuangan para pekerja migran berasal dari kalangan gereja.
Demikian pula di dalam negeri, GKI Indramayu menaruh perhatian pada isu ini dengan memiliki program pemberdayaan pekerja migran.
”GAMKI mesti di depan bicarakan persoalan ini, agar ada migrasi berperikemanusiaan sehingga rakyat bisa bekerja untuk kemajuan bangsa ini, sesuai Pasal 27 UUD 1945 untuk kesejahteraan bangsa kita, ’tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan’,” jelasnya.
Timboel memaparkan, Pekerja Migran Indonesia (PMI) memainkan peran vital dalam perekonomian Indonesia, berkontribusi signifikan melalui remitansi dan transfer pengetahuan.
Namun, mereka juga menghadapi berbagai risiko dan kerentanan, baik saat bekerja di luar negeri maupun saat kembali ke tanah air.
”Perlindungan sosial bagi PMI, menjadi aspek krusial yang perlu mendapat perhatian serius dari berbagai pemangku kepentingan,” kata Timboel.
Ia mengingatkan, tidak semua pekerja migran yang pulang membawa Tabungan dan ketrampilan.
”Ada yang pulang membawa trauma, luka dan pengalaman buruk. Karena itu, ada beberapa usulan perbaikan, seperti peningkatan regulasi dan pengawasan, peningkatan akses informasi dan edukasi, perjanjian kerja sama dengan negara tujuan, peningkatan mekanisme pengaduan dan bantuan hukum, serta peningkatan kesejahteraan dan jaminan sosial,” urainya.
Salah satu gagasan konkretnya, menurut Timboel, yakni bagaimana agar PMI bisa mendapat jaminan hari tua, dan boleh ikut jaminan pensiun.
Selain itu, GAMKI harus mendorong pemerintah dan pemangku kepentingan lain untuk memperbanyak pelatihan-pelatihan kerja yang sesuai dengan kebutuhan dunia usaha dan dunia industri.
Sesi Studi Meeting yang dimoderatori Koordinator Wilayah Bali-Nusa Tenggara DPP GAMKI Jhon Sepron D.
Liem ini juga menghadirkan narasumber Direktur Literasi Keuangan dan Pemanfaatan Remitansi Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia/Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Indra Hardiansyah serta Koordinator Maritim, Hukum, dan Kebijakan Serikat Buruh Migran Indonesia Dios Lumban Gaol.
Indra memaparkan, dari sekian banyak PMI, 80 persen bekerja di sektor informal.
”Arahan Presiden Prabowo bagaimana bisa mengubah struktur, agar PMI yang dikirim merupakan tenaga kerja yang terampil, skilfull, dan bukan hanya sebagai tenaga kerja sektor informal,” ucapnya.
Pada 2023-2025, total jumlah penempatan PMI 703.689 dengan lima besar negara tujuan terbanyak ke Hongkong (222.259), Taiwan (192.469), Malaysia (144.078), Korea Selatan (29.596), dan Singapura (26.103).
Sementara itu, lima besar daerah terbanyak pengirim PMI berasal dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, NTB, dan Lampung.
Indra juga memaparkan program pemberdayaan sosial dan ekonomi bagi PMI dan keluarga yang dilakukan kementeriannya.
Untuk pemberdayaan sosial, berupa transfers keahlian, yakni program yang bertujuan untuk meningkatkan kompetensi dan kesiapan calon pekerja migran Indonesia, hal ini dapat mengoptimalkan peluang serta meningkatkan produktivitas PMI di pasar internasional.
”Dalam program pemberdayaan sosial juga dilakukan penguatan keluarga yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan keluarga PMI melalui berbagai intervensi sosial. Fokus dalam akses ke layanan kesehatan, pendidikan, serta bantuan hukum dan psikososial bagi keluarga, serta meningkatkan kesadaran akan hak-hak PMI dan keluarganya serta memperkuat jaringan dukungan sosial,” urainya.
Sementara itu, program pemberdayaan ekonomi terdiri dari dua hal, yakni kewirausahaan dan pengembangan usaha produktif serta literasi Keuangan dan pemanfaatan remitansi.
Di sisi lain, Dios Lumban Gaol menyoroti adanya kegagalan negara menciptakan lapangan kerja dalam menggalakkan industrialisasi akhir-akhir ini.
“Meski harus diakui, kebijakan pemerintahan era Presiden Prabowo patut diapresiasi karena urusan pekerja migran ini naik statusnya menjadi kementerian,” ungkapnya.
Dios memaparkan, di antara negara-negara Asia Tenggara, Indonesia dan Filipinan menjadi ’champion’ dalam pengiriman pekerja migran ke berbagai belahan dunia.
”Tapi, pekerja migran asal Filipina selalu 10 langkah di depan kita, salah satunya karena kemampuan berbahasa asing,” terangnya.
Lemahnya penguasaan bahasa asing itu membuat pekerja migran kita kalah posisi tawar dibanding asal Filipina, misalnya dalam hal negosiasi gaji dan jam kerja.
”Seusai Matius 25:35, gereja harus menjadi garda terdepan dalam melindungi pekerja migran, seperti dilakukan organisasi-organisasi Kristen macam Caritas, Stella Maris, The Ministry to Seafarers dll,” pungkas Dios. []