News Kamis, 24 November 2022 | 17:11

Saiful Mujadi: Hubungan Partai dan Pemilih Tak Berdasar Pada Hal yang Bersifat Kognitif

Lihat Foto Saiful Mujadi: Hubungan Partai dan Pemilih Tak Berdasar Pada Hal yang Bersifat Kognitif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Saiful Mujani. (Foto: Tangkapan layar YouTube)

Jakarta - Ilmuwan, Saiful Mujani menyebutkan umumnya pemilih Indonesia hanya mengingat nama atau pemimpin dan simbol partai politik, bukan ide ataupun platform mereka. 

Hal itu disampaikan Saiful Mujani melalui program `Bedah Politik bersama Saiful Mujani` bertajuk "Apa yang Pemilih Tahu tentang Partai Politik?" melalui kanal YouTube SMRC TV pada Kamis, 24 November 2022.

Berdasarkan survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), November 2022, Saiful menjelaskan bahwa ketika ditanya apa yang ada di pikiran ketika disebut nama PDIP? 

Sebanyak 19 persen pemilih menyebut Megawati, 14,3 persen menyebut gambar banteng, 4,6 persen menyebut Joko Widodo, dan warna merah 2,8 persen. Hal-hal lain di bawah 2 persen.

Dia menjelaskan bahwa untuk kasus PDIP, yang melekat di hati pemilih adalah sesuatu yang memiliki makna yang kabur seperti simbol dan nama orang, bukan ide. 

Padahal padahal elite PDIP sering bicara tentang wong cilik yang memperjuangkan aspirasi rakyat kecil, namun hal itu kurang terekam di benak pemilih.

Hal yang sama terjadi pada Gerindra. Yang paling banyak diingat oleh mereka yang tahu Gerindra adalah nama Prabowo Subianto 25,6 persen, gambar burung 8,3 persen, dan hal-hal lain di bawah 2 persen. 

Hal ini sama dengan PDIP bahwa yang melekat di pikiran pemilih adalah nama ketua partai dan simbolnya.

"Yang ada di pikiran pemilih bukan pesan, ide, platform, atau ideologi partai," kata Saiful dalam keterangannya, Kamis, 24 November 2022.

Sementara yang paling banyak terlintas di pikiran pemilih ketika mendengar nama Golkar adalah gambar pohon beringin 11,8 persen, warna kuning 10,2 persen, Soeharto 5,1 persen, dan Airlangga Hartarto 2,3 persen. Hal-hal lain dibanyak 2 persen.

Sedikit berbeda dengan PDIP dan Gerindra di mana yang paling populer diingat oleh pemilih adalah nama tokoh, yang paling banyak terlintas dalam pikiran pemilih pada Golkar adalah simbol (pohon beringin dan warna kuning).

Menurut Saiful, sebagian hal ini merupakan cerminan dari literasi pemilih yang rendah. Hal ini juga terkait supply informasi yang diberikan pada para pemilih oleh partai politik.

Melihat fakta rendahnya pengetahuan publik tentang ide dan gagasan, Saiful melemparkan pertanyaan "Apa yang selama ini dilakukan oleh partai politik?".

Menurut Saiful, yang ideal adalah, ketika disebut nama PDIP, maka yang terlintas misalnya adalah tentang politik pro kerakyatan, Golkar misalnya tentang pembangunan, dan Gerindra misalnya tentang nasionalisme atau Indonesia first.

"Terlepas dari setuju atau tidak, minimal ada ide yang melekat pada pemilih kita. Tapi dalam kasus-kasus ini, kita tidak menemukannya," ujarnya.

Secara umum, studi ini menemukan bahwa jika disebut nama PKB, maka yang terlintas paling banyak di pikiran pemilih adalah nama Abdurrahman Wahid, Gerindra Prabowo Subianto, PDIP Megawati Soekarnoputri, Golkar gambar pohon beringin, Nasdem Surya Paloh, PKS berbasis agama, PPP gambar ka’bah, PAN Amien Rais, dan Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono.

Yang paling banyak diingat oleh pemilih ketika menyebut nama partai adalah tokohnya kemudian simbol.

"Kita melihat bahwa hubungan antara partai dan pemilih tidak berdasar pada hal yang bersifat kognitif. Yang ada adalah tokoh dan simbol yang memiliki pengertian yang sebenarnya kabur atau tidak jelas," tuturnya.

"Bahwa jika dasar pengetahuan pemilih seperti ini, kita tidak bisa menuntut lebih jauh misalnya berharap partai politik mewakili sebuah kecenderungan atau kepentingan tertentu di masyarakat. Itu agak susah," sambungnya.

Menurut dia, fakta bahwa yang melekat di ingatan pemilih dari partai politik adalah nama orang memiliki persoalan. Orang memiliki umur yang terbatas, yang lebih abadi adalah institusi. 

Dan yang membentuk institusi adalah ide. Namun studi ini menemukan, umumnya pemilih tidak tahu gagasan atau ide di balik institusi partai politik di Indonesia.

"Tentu saja semua partai politik memiliki AD/ART, tapi masyarakat tidak kenal itu semua,` kata dia.

Ia menambahkan bahwa perdefinisi, partai merepresentasikan atau mewakili kepentingan rakyat. Studi ini tidak menemukan bahwa partai politik Indonesia dikenal mewakili aspirasi dan kepentingan pendukung atau pemilihnya. 

Hal itu, lanjutnya, adalah bukti bahwa Indonesia gagal membangun sistem kepartaian selama 20 tahun lebih reformasi.

Melihat keadaan tersebut, dia mengatakan wajar saja jika banyak publik yang apatis terhadap partai, ada atau tidaknya partai politik dianggap tidak penting. Ini bahkan bisa menggerus kepercayaan publik pada Pemilu. 

Karena partai yang menjadi unsur utama dalam Pemilu ternyata tidak memiliki ikatan dengan pemilih berdasarkan gagasan dan platform.

Survei ini dilakukan secara tatap muka pada 5-13 November 2022. Populasi survei ini adalah seluruh warga negara Indonesia yang punya hak pilih dalam pemilihan umum, yakni mereka yang sudah Berusia 17 tahun atau lebih, atau sudah menikah ketika survei dilakukan. 

Dari populasi itu dipilih secara random (stratified multistage random sampling) 1220 responden. Response rate sebesar 1012 atau 83 persen. 

Baca juga: Survei SMRC: Efek Deklarasi Capres 2024 Belum Terlihat Bagi Gerindra dan NasDem

Baca juga: Survei SMRC: Elektabilitas PDIP Menguat, Demokrat Tak Alami Perubahan

Margin of error survei dengan ukuran sampel tersebut diperkirakan sebesar ± 3,1 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen (asumsi simple random sampling).[]

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya