Jakarta - Perang yang terus berlangsung antara Israel dengan bangsa Palestina, murni persoalan politik dan bukan perang agama antara Islam dengan Yahudi.
Ini ditegaskan Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti dalam siaran pers yang dilansir dari laman Muhammadiyah, Minggu, 29 Oktober 2023.
Disebutkan, dalam catatan modern, konflik berkepanjangan antara bangsa Palestina dengan Israel terjadi sejak pembagian wilayah Palestina oleh PBB pada 1947 mengikuti Deklarasi Balfour 1917.
Pasca Deklarasi Balfour, Inggris memfasilitasi imigrasi ratusan ribu kaum Yahudi ke wilayah Palestina, termasuk memberikan bantuan militer bagi kaum Yahudi saat terjadi perlawanan rakyat Palestina pada 1939.
Setelah Israel berdiri pada 1948, konflik berdarah pun secara asimetris dan terstruktur dilakukan Israel kepada bangsa Palestina hingga hari ini.
"Konflik yang terjadi antara bangsa Palestina dan Israel bukanlah konflik agama antara Islam dan Yahudi. Melainkan konflik politik di mana banyak umat Yahudi yang juga ikut menentang Zionisme Israel," terang Mu`ti dalam keterangannya, Sabtu, 28 Oktober 2023.
Menurut dia, pandangan ini harus diberikan garis tebal bahwa ini adalah peperangan dan konflik politik yang berkaitan dengan perebutan wilayah kekuasaan antara bangsa Palestina dan bangsa Israel.
"Tetapi tentu dalam posisi di mana masyarakat internasional menyebut Israel melakukan okupasi atau agresi terhadap wilayah bangsa Palestina,” ungkapnya.
Mu’ti menilai konflik berdarah antara Palestina dengan Israel tidak bisa dipandang secara sederhana dan hitam putih sekadar Islam versus Yahudi.
Berdasar data tahun 2022, di Israel, jumlah umat Islam mencapai 17 persen atau sekira 1,5 juta jiwa.
Sedangkan bangsa Palestina yang menjadi korban Zionisme tidak hanya umat muslim, tapi juga bangsa Palestina yang beragama Yahudi, Kristen, dan agama-agama tradisi seperti Druze.
“Sehingga kalau persoalan ini ditarik kepada persoalan perang antara Islam dengan Yahudi ini akan menjadi sebab ketegangan di berbagai wilayah di dunia dan itu sesuatu yang sangat tidak kita kehendaki,” ujarnya.
BACA JUGA: Presiden Jokowi Desak Konflik Palestina-Israel Dihentikan: Hindari Bertambahnya Korban
Selama ini kata dia, kecenderungan-kecenderungan yang ada di masyarakat lebih pada pemihakan secara 100 persen Hamas atau Palestina atau Israel dan saling menyalahkan satu sama lain.
Meski konflik ini terus berkepanjangan, Mu’ti berpendapat masih ada peluang untuk mengusahakan jalur-jalur rekonsiliasi dan perdamaian.
Banyaknya gerakan diplomasi kultural oleh masyarakat sipil untuk membangun kesadaran persaudaraan antara umat Islam, Yahudi, dan Kristen membuat dirinya optimis pada upaya resolusi konflik. Misalnya ide tentang Common Ground, Kalimatun Sawa’, Son of Ibrahim dan yang lainnya.
“Bagaimana komunitas non agama ini bisa berperan lewat jalur non militer dan non politik untuk membangun kerukunan di antara masyarakat yang berbeda-beda itu,” jelasnya.
Mengurangi kecenderungan simplifikasi atas konflik Palestina-Israel, Mu’ti mengajak umat untuk mengedepankan rasionalitas, objektivitas, keadaban dan bukan sentimen emosional semata.
Menurut dia, pemihakan yang paling mungkin adalah pemihakan kepada kebenaran yang memenuhi hukum-hukum internasional.
Bahwa tidak boleh ada penyerangan pada masyarakat sipil, pada fasilitas publik walaupun dalam situasi perang.
Karena itu tegasnya, perang ini harus dihentikan. Tekanan internasional kepada Israel untuk menghentikan semua okupansinya itu perlu terus didengungkan. []