Hukum Rabu, 12 November 2025 | 16:11

Sengketa Lahan Ruko Marinatama, Warga Gugat Inkopal dan Minta Menhan Jadi Mediator

Lihat Foto Sengketa Lahan Ruko Marinatama, Warga Gugat Inkopal dan Minta Menhan Jadi Mediator warga penghuni Ruko Marinatama (Marina) Mangga Dua, Jakarta Utara, Subali. (Foto: Istimewa)
Editor: Victor Jo

Jakarta - Sebanyak 42 warga penghuni Ruko Marinatama, Mangga Dua, Jakarta Utara, resmi mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Timur terhadap Induk Koperasi Angkatan Laut (Inkopal).

Gugatan itu dilayangkan sebagai bentuk keberatan atas penerbitan sertifikat hak pakai atas lahan tempat mereka berdiri, yang dinilai cacat hukum dan tidak sesuai prosedur administrasi pertanahan.

Kuasa hukum warga, Subali, menyatakan bahwa inti gugatan terletak pada keabsahan penerbitan hak pakai yang bertentangan dengan komitmen awal pembangunan kawasan Marinatama pada akhir 1990-an.

Menurut Subali, para warga membeli dan menempati ruko dengan perjanjian akan memperoleh Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB). Namun, setelah lebih dari dua dekade, yang muncul justru sertifikat hak pakai atas nama pihak lain.

"Proses ini melanggar ketentuan hukum agraria. Kami menilai penerbitan hak pakai tersebut tidak sah secara hukum," ujar Subali usai sidang kelima di PTUN Jakarta Timur, dikutip Opsi pada Selasa, 12 November 2025.

Sidang kelima perkara ini sempat ditunda untuk memberi waktu kepada kedua pihak menyerahkan dokumen tambahan. Majelis hakim menekankan pentingnya pembuktian yang relevan dan profesional, termasuk menghadirkan saksi serta ahli yang kompeten.

Pihak penggugat berencana menghadirkan saksi ahli dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia untuk menjelaskan aspek hukum konversi tanah negara yang dianggap tidak sesuai ketentuan.

"Tanah negara harus lebih dulu dikonversi menjadi Hak Pengelolaan Lahan (HPL) atas nama Kementerian Pertahanan, baru kemudian dapat dilekati Hak Guna Bangunan (HGB). Dalam kasus ini, tanah langsung diterbitkan sebagai Hak Pakai. Ini keliru secara hukum," tutur Subali.

Di tengah proses hukum yang masih berjalan, para penghuni ruko mengaku menerima surat peringatan untuk mengosongkan bangunan dari pihak Inkopal. Beberapa warga juga melaporkan adanya intimidasi dan teror dari orang tidak dikenal setelah mengikuti persidangan. Subali menilai langkah-langkah tersebut mencederai proses hukum yang sedang berlangsung.

"Tidak boleh ada pengosongan sebelum ada putusan hukum tetap," tegasnya.

Sebagai upaya damai, warga telah mengirimkan surat resmi kepada Menteri Pertahanan Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin pada 29 Oktober 2025. Surat tersebut berisi permohonan agar Kementerian Pertahanan bersedia menjadi mediator antara warga dan Inkopal dalam penyelesaian sengketa.

Surat itu juga ditembuskan kepada Majelis Hakim dan Panitera PTUN Jakarta, serta ditandatangani oleh seluruh 42 warga dan perwakilan badan hukum penghuni ruko Marinatama.

"Kami masih percaya pada semangat bahwa TNI adalah bagian dari rakyat, dan rakyat harus dilindungi oleh TNI. Kami berharap Menhan berkenan membuka ruang komunikasi demi penyelesaian yang berkeadilan," ujar Subali.

Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari pihak Kementerian Pertahanan atas surat permohonan tersebut.

Berdasarkan informasi dari warga, kompleks Ruko Marinatama dibangun sejak akhir 1990-an sebagai kawasan perdagangan dan perkantoran di bawah koordinasi Inkopal. Para penghuni membeli unit dengan harapan akan mendapatkan hak kepemilikan berupa SHGB.

Namun, setelah lebih dari 25 tahun, sertifikat yang dijanjikan tidak pernah diterbitkan. Fakta bahwa lahan tersebut kemudian terdaftar sebagai Hak Pakai atas nama pihak lain menjadi dasar utama gugatan ke PTUN Jakarta.

Baca juga: Penyelesaian Sengketa Agraria: Anggota DPD Penrad Siagian Sebut Pola Penjajah Masih Diteruskan

Baca juga: Payung Hukum Tak Jelas, Puluhan Hektare Sawah di Siantar Beralih Fungsi Menjadi Perumahan

Sidang lanjutan dijadwalkan berlangsung pekan depan dengan agenda pemeriksaan saksi ahli dari pihak penggugat. Kuasa hukum dan warga berharap proses hukum di PTUN Jakarta dapat menjadi sarana penyelesaian yang adil dan transparan, tanpa tekanan dari pihak manapun. []

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya