Jakarta - Dalam menyambut Hari Musik Nasional yang akan dirayakan pada 9 Maret 2025 kemarin, sejumlah jurnalis musik senior Indonesia yang tergabung dalam Serikat Perangkai Kebenaran (SPK) menyerukan pemerintah untuk mengambil peran lebih nyata dalam menyelesaikan kisruh perihal royalti musik antara komposer dan penyanyi.
Lewat pertemuan sederhana di kawasan Pondok Aren, Tangerang, pada Kamis, 6 Maret 2025 lalu, para awak media yang juga pemerhati industri musik ini menekankan perlunya tata kelola royalti yang lebih berkeadilan dan transparan untuk mendukung terciptanya ekosistem musik yang sehat di Indonesia.
Polemik soal royalti kembali mencuat ke permukaan setelah sengketa antara Agnez Mo dan Ari Bias menjadi perhatian publik. Pada 30 Januari 2025, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat memutuskan bahwa Agnez bersalah dan harus membayar ganti rugi sebesar Rp 1,5 miliar. Namun begitu, Agnez menolak dan berencana mengajukan kasasi.
Kasus ini semakin memanas dengan munculnya perpecahan antara dua lembaga yang mewakili kepentingan sektoral, yakni Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI) dan Vibrasi Suara Indonesia (VISI), yang masing-masing mendukung kubu komposer dan penyanyi.
Jurnalis senior jebolan Majalah HAI, Denny MR dalam keterangannya mengkritik posisi ambigu pemerintah dalam menangani konflik ini.
"Pemerintah harus berada dalam posisi yang jelas, jangan ambigu," kata Denny MR, dikutip Opsi pada Jumat, 14 Maret 2025.
Sementara Irish Riswoyo dari MusicLive menilai, tata kelola royalti musik yang ada di Indonesia saat ini dinilai masih jauh dari kata ideal. Dia juga menyoroti keberadaan 15 Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) yang berpotensi saling tumpang tindih dalam menjalankan perannya.
"Banyaknya LMK yang ada saat ini juga masih menyisakan pertanyaan besar terkait dengan transparansi dalam proses collecting royalti tersebut. Nyatanya masih banyak hak royalti yang belum bisa diberikan secara optimal kepada para stakeholder terkait," ujarnya.
Sementara itu, Mudya Mustamin , mantan Pemimpin Redaksi Billboard Indonesia, menyarankan agar Indonesia belajar dari keberhasilan negara lain seperti Jepang, Singapura, dan Brasil.
Dia bilang, tata kelola royalti yang optimal tidak hanya membawa manfaat langsung kepada para kreator, tetapi juga memperkuat ekosistem musik secara keseluruhan.
"Ketika hak royalti dapat diberikan secara optimal maka manfaatnya dirasakan pula oleh ekosistem musik itu sendiri," katanya.
Jurnalis Suara Merdeka, Benny Benke menambahkan bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab besar dalam menyelesaikan permasalahan ini.
"Jika pemerintah tak bisa, jangan disalahkan jika kami, para jurnalis, akan berusaha merangkai kebenaran itu melalui usaha nyata untuk mencarikan kebenaran itu sendiri," ucapnya.
Lewat pertemuan singkat tersebut, Serikat Perangkai Kebenaran (SPK) yang diisi oleh para jurnalis seperti Denny MR, Irish Riswoyo, Benny Benke, Mudya Mustamin, dan lainnya, berkomitmen menjadi ruang diskusi konstruktif untuk membangun industri musik yang lebih baik.
Mereka melihat peran jurnalis tidak hanya sekadar memberitakan, tetapi juga menjadi pilar demokrasi yang membantu menghadirkan solusi.
"Tanggung jawab kami sebagai jurnalis tidak hanya terbatas memberitakan dan menyampaikan informasi saja. Tetapi sebagai pilar kelima demokrasi, kami juga memiliki peran edukatif yang konstruktif untuk menghadirkan ekosistem musik yang sehat, adil, dan transparan bagi semua pihak yang terlibat," tutur Ryan Ncek , pengelola komunitas Lesehan Musik yang juga bekas jurnalis di Tabloid Gaul.
Baca juga: Iconic Tourist Perkenalkan Diri ke Kancah Musik Lewat Dua Single Give it to Me dan Oh Honey
Baca juga: IFPI Umumkan Pembaruan ASIRI Chart, Tangga Lagu Mingguan Resmi Musik Indonesia
Dengan seruan ini, para jurnalis berharap pemerintah lebih tegas dalam mengatur tata kelola royalti agar permasalahan serupa tidak terus berulang. Kejelasan aturan dan transparansi menjadi kunci untuk menghindari polemik yang berpotensi merugikan semua pihak dalam ekosistem musik Indonesia. []