Netizen Sabtu, 08 Januari 2022 | 11:01

Sibeabea dan Pariwisata Danau Toba

Lihat Foto Sibeabea dan Pariwisata Danau Toba Sebastian Hutabarat saat menikmati suasana di Tarabunga, Balige, Kabupaten Toba, Sumatra Utara. (Foto: Ist)
Editor: Tigor Munte

oleh: Sebastian Hutabarat*

Hampir semua tamu yang berkunjung ke Pizza Andaliman, ketika saya tanya sudah ke mana saja dan mau ke mana lagi. Mereka menyebut nama Sibeabea. Bukit indah dengan jalanan aspal berkelok-kelok dari perbukitan Tele menuju Danau Toba

Luar biasa memang kekuatan foto ini. Foto-foto itu berhasil menyita perhatian hampir semua perantau yang pulang ke Tanah Batak. Subuh tadi, saya membaca tulisan Lae Rizal Naibaho, fotografer keren dari Samosir. Rizal menulis tentang komplain orang-orang yang datang ke Sibeabea.

Tentang harga tiket motor Rp 20.000 dan mobil Rp 50.000, entah pun hanya seorang diri di dalam mobil. Keluhan berikut, ketiadaan fasilitas toilet dan sarana untuk orang bisa makan atau sekadar minum.

Pihak pengelola yang ternyata bukan dari pemerintah karena area itu juga ternyata bukan dibangun oleh pemerintah, tapi oleh sebuah yayasan yang mencoba berbuat untuk Tanah Batak. Berdalih bahwa kawasan itu memang masih sedang dalam proses pembangunan, belum selesai.

Dan perihal harga tiket, kata pengelola itu untuk satu unit mobil, entah berapa pun isi penumpangnya. Apa yang terjadi dalam perdebatan ini, menurut saya sangat menggambarkan apa yang terjadi dengan Tanah Batak, orang Batak. Dan pariwisata Danau Toba.

Parlindungan Siregar sebagai salah seorang putra Batak, dalam bukunya `Tuanku Rao` menulis, dasar bangsa keras kepala, sudah dikasih makan enak, masih terus ngomong berpanjang lebar. Tidak peduli banyak orang yang kelaparan. (Maksudnya dalam pesta-pesta Batak yang sangat sering terlambat makan karena berdebat, ngobrol).

Terima atau tidak, begitulah faktanya. Kami orang Batak ini lebih senang berdebat. Beberapa orang bahkan bisa kaya raya dari urusan menjual kata-kata dan perdebatan ini. (Salah satunya profesi lawyer).

Baca juga: Kolaborasi 8 Kabupaten di Kawasan Danau Toba

Kami orang Batak lebih senang berdebat ketimbang mengambil bagian untuk mengisi ruang ruang kosong yang ada. Kami lebih senang berkompetisi, dan bukan berkolaborasi. Saya tidak ingin terpancing dengan aneka perdebatan soal harga tiket dan fasilitas di bukit Sibeabea.

Kejadian begini sangat sering kami alami semenjak kami pulang dan memilih berusaha wisata di Balige. Terkadang tamu tamu kami ini, yang juga mayoritas halak Batak, lebih senang menyampaikan komplainnya di depan umum.

Kami sangat sering mengalami itu dan dalam hati kami berpikir yang komplain itu, keluarga dan saudara kami juga, orang Batak, anak para raja. Oh ya, saya kira senangnya orang Batak  bertikai ini, lebih karena dilatari kekeliruan memahami konsep dan pemahaman akan `anak dan boru ni raja`.

Raja yang sering lebih dimaknai sebagai `status dan hak`, dan bukan sebagai `perilaku yang rajani`, yang lemah lembut, tegas dan punya hati berbagi, dan senang melayani.

Saya juga tidak ingin terpancing dengan perdebatan konsep raja dalam tatanan `Dalihan na Tolu`, karena dalam faktanya, kami orang Batak lebih senang berdebat mempertahankan hak- hak dan status ketimbang saling mengisi dan melengkapi.

Faktanya, begitu banyak sudah fasilitas yang sedang dan masih dibangun oleh pemerintah pusat (terlepas dari aneka kekurangan di dalamnya), kami masyarakat di bawah belum banyak yang bergerak. Belum banyak yang mengambil peran sebagai pelayan untuk para tamu yang datang.

Untuk kasus Sibeabea, kalau saja pihak pengelola entah itu oleh yayasan sendiri atau bekerja sama dengan pihak lain, betapa banyaknya orang yang bisa bekerja bahkan sejahtera jika di tempat itu juga disediakan aneka fasilitas untuk wisatawan.

Menurut Mbak Heni Smith, pemilik The Lodge Group Maribaya, orang orang yang berwisata, sebenarnya tidak menuntut macam-macam. Asal mereka bisa dapat tempat yang cukup nyaman, bersih, kalau bisa makan dan minum yang enak, pada dasarnya semua wisatawan itu rela kok membayar lebih mahal dibanding di tempat-tempat biasa lainnya.

Secara umum mereka para wisatawan itu sebenarnya berangkat dari rumah bukan untuk marah-marah, tapi untuk senang-senang, ingin keluar dari rutinitas sehari-hari.

Jadi daripada kita saling berdebat tentang Sibeabea, tentang BPODT, tentang susahnya mendapatkan toilet yang bersih, tentang harga dan timbangan mangga di Parapat yang sering tidak fair, bagaimana kalau kita berkolaborasi saja. Saling melengkapi di mana saudara kita yang lain masih belum sanggup melengkapinya.

Dalam hati ini, semakin mendidih keinginan untuk membuat sepeda motor semacam food truck yang bisa berjualan ke tempat tempat wisata.  Berjualan apa saja, produk-produk wisata dengan pelayanan yang prima. Toh, margin yang didapat bisa cukup besar untuk dibagi-bagi.

Semoga mimpi-mimpi ini bisa kita eksekusi bersama-sama dengan saling mengisi dan melengkapi. Good bye kompetisi, welcome `kolaboraksi` (selangkah lebih maju dari kolaborasi, yakni dengan mengambil `aksi`. []

*Penulis adalah pegiat lingkungan dan pariwisata di Kawasan Danau Toba, tinggal di Balige, Kabupaten Toba.

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya