Jakarta – Gugatan hukum tak lagi datang dari para elite. Kini, mahasiswa dari Batam menantang langsung Presiden Prabowo Subianto dan DPR RI di Mahkamah Konstitusi, menuntut keduanya membayar kerugian negara hingga Rp 75 miliar karena mengesahkan UU TNI yang dinilai melanggar konstitusi.
Hidayattudin dari Universitas Putera Batam dan Respati Hadinata dari Universitas Negeri Batam menyampaikan permohonan yang menggemparkan dalam sidang uji formil dan materiil UU TNI, Jumat, 9 Mei 2025, di Gedung MK.
Dalam petitum alternatif, keduanya meminta MK menghukum Presiden dan DPR membayar kompensasi kepada negara masing-masing sebesar Rp 25 miliar dan Rp 50 miliar.
Tak berhenti di situ, mereka juga menuntut MK menjatuhkan dwangsom (uang paksa harian) senilai Rp 12,5 miliar per hari untuk Presiden dan Rp 25 miliar per hari untuk DPR jika keduanya tak melaksanakan putusan MK nantinya.
Gugatan ini merespons pengesahan cepat UU Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI yang dianggap mengabaikan prinsip demokrasi dan tidak didasarkan pada kondisi darurat sebagaimana disyaratkan konstitusi.
Para pemohon menilai proses legislasi tersebut tidak memberi ruang partisipasi publik dan bertentangan dengan semangat reformasi 1998.
“Kami minta UU TNI yang baru ini dibatalkan karena disahkan secara tergesa-gesa dan bertentangan dengan UUD 1945,” ujar Respati dalam persidangan.
Dalam inti permohonan mereka, para penggugat meminta MK membatalkan UU TNI yang baru dan mengembalikan keberlakuan UU Nomor 34 Tahun 2004.
Mereka juga menyoroti khusus Pasal 47 ayat (2) yang membuka jalan bagi prajurit TNI aktif menduduki jabatan sipil tanpa harus pensiun atau mengundurkan diri.
Menurut mereka, pasal itu membuka celah penyalahgunaan kekuasaan, memperlebar dominasi militer di sektor sipil, serta melemahkan prinsip supremasi sipil yang seharusnya menjadi pondasi pemerintahan pasca-reformasi.
“Ketentuan ini telah dipakai untuk mengangkat perwira militer ke posisi-posisi strategis sipil hanya demi kepentingan politik penguasa, bukan atas dasar kompetensi,” jelas mereka dalam argumentasi hukum yang diajukan ke MK.
Kelompok mahasiswa dan advokat lain yang menggugat dalam berkas terpisah juga menuntut agar Pasal 47 ayat (2) dinyatakan tidak mengikat, kecuali jika dimaknai prajurit harus mengundurkan diri lebih dahulu sebelum menjabat di kementerian/lembaga sipil.
UU TNI baru memang memperluas instansi sipil yang dapat diisi prajurit aktif, dari sembilan menjadi 14. Tambahan lembaga itu termasuk Kejaksaan Agung (melalui JAM Pidmil), Basarnas, BNPT, Bakamla, dan BNPP. Perluasan ini dianggap berbahaya karena mengaburkan batas antara ranah sipil dan militer.
Gugatan ini menjadi tonggak penting dalam uji konstitusionalitas peran militer dalam pemerintahan sipil. Lebih dari sekadar legal formal, perkara ini menguji apakah warisan reformasi masih hidup, atau mulai terkikis di bawah bayang-bayang kekuasaan bersenjata.[]