Jakarta - Presiden Jokowi diminta mengevaluasi penggunaan kekuatan termasuk pemakaian gas air mata oleh aparat kepolisian.
Tragedi Kanjuruhan pada Sabtu, 1 Oktober 2022 malam, menjadi puncak dari kelalaian polisi dari sekian peristiwa lainnya ketika menggunakan gas air mata untuk mengamankan sebuah kejadian.
Belakangan terungkap gas air mata yang digunakan justru yang sudah kedaluwarsa. Sebagaimana pengakuan Kadiv Humas Polri, Irjen Dedi Prasetyo.
Dia kemudian mengklaim, gas air mata yang telah kedaluwarsa tidak berbahaya dan tidak menyebabkan kematian, dengan alasan zat kimianya sudah menurun.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) membeber beberapa kejadian di Tanah Air dan luar negeri yang menggunakan kekuatan gas air mata, termasuk yang sudah kedaluwarsa.
Selain Tragedi Kanjuruhan, polisi pernah menggunakan gas air mata kedaluwarsa pada September 2019 saat unjuk rasa mahasiswa atas penolakan RUU KPK dan RKUHP di Gedung DPR/MPR.
Semula polisi membantah menggunakan gas air mata yang telah kedaluwarsa. Belakangan diakui Brigjen Dedi Prasetyo ketika menjabat Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri. Dedy juga menegaskan gas air mata yang telah kedaluwarsa tidak berbahaya.
Di luar negeri kejadian serupa juga berlangsung, seperti di Venezuela tahun 2014. Polisi menggunakan gas air mata kedaluwarsa membubarkan massa aksi unjuk rasa.
Soal gas air mata kedaluwarsa tidak berbahaya, ditampik oleh seorang ahli kimia Mónica Kräuter dari Simón Bolívar University, Venezuela.
Lewat sebuah penelitian, Monica menemukan justru penggunaan gas air mata yang telah kedaluwarsa dapat terurai menjadi gas sianida, fosgen, dan nitrogen.
Baca juga:
Tragedi Kanjuruhan, Mahfud: Kami Rasakan Ada Saling Lempar Tanggung Jawab
Sehingga senyawa-senyawa ini justru membuat gas air mata menjadi lebih berbahaya.
Ini juga diperkuat Asosiasi Dokter Kashmir di India, sebagaimana dilansir dari Kashmir Dispatch.
Disebutkan, penggunaan gas air mata kedaluwarsa bisa mengakibatkan luka bakar, gejala asma, kejang, kebutaan, hingga meningkatkan risiko keguguran.
Peneliti ICJR Iftitah Sari menyebut, Peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, mengatur tahapan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian.
Mulai dari kekuatan yang memiliki dampak pencegahan, perintah lisan, kendali tangan kosong lunak, kendali tangan kosong keras, kemudian kendali untuk menggunakan senjata kimia gas air mata.
Penggunaan senjata kimia seperti gas air mata juga diatur dalam Prosedur Tetap RI Nomor 1 /X/2010 tentang Penanggulangan Anarki.
Di sana diatur bahwa penggunaan senjata kimia seperti gas air mata harus digunakan sesuai dengan standar kepolisian.
"Kepolisian RI sendiri mengatur standar yang harus dipenuhi dalam penggunaan senjata kimia dan penggunaan gas air mata yang sudah melewati kedaluwarsa pastinya bukan termasuk standar penggunaan," terang dia dalam keterangan tertulis diterima Opsi, Jumat, 14 Oktober 2022.
Kata dia, dengan diaturnya standar penggunaan senjata kimia seperti gas air mata dalam berbagai peraturan internal Polri, maka penggunaan gas air mata kadaluwarsa jelas tidak memenuhi prosedur.
Dia lantas mendesak dilakukan sebuah mekanisme investigasi khusus terhadap aparat bertugas di lapangan yang menggunakannya.
Semua pihak, baik personel lapangan dan pimpinan di atasnya yang terbukti melanggar aturan harus terbuka untuk dimintai pertanggungjawaban.
"ICJR meminta Presiden RI mengusut dan mengevaluasi penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian selama ini termasuk penggunaan gas air mata, agar tidak lagi-lagi hal ini dianggap lazim," tandasnya. []