Jakarta - Aliansi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian memandang praktik penyiksaan pada proses penangkapan dan penahanan tersangka di kepolisian mustahil dihilangkan.
Sepanjang tidak ada perubahan mendasar melalui revisi KUHAP untuk menghadirkan pengawasan oleh pengadilan (judicial scrutiny) dalam proses penangkapan dan penahanan.
"Hal ini perlu dilakukan sebagai usaha untuk mengakhiri akar penyebab masalah ini yang terletak pada kewenangan kepolisian yang begitu besar untuk melakukan penangkapan dan penahanan tanpa mekanisme pengawasan yang ketat," kata Peneliti ICJR Lovina dalam siaran pers tertulis, Senin, 17 Juli 2023.
Ini merujuk pada kasus tewasnya OK (26), seorang tahanan tersangka pencurian sepeda motor di Banyumas, Jawa Tengah. Sedikitnya 11 personel polisi menjalani pemeriksaan terkait kasus ini.
Lovina menyebut, selama ini penahanan dilakukan oleh aparat kepolisian dengan begitu mudah, tidak ada kewajiban menghadirkan tersangka ke depan hakim, keputusan menahan/tidak menahan pasca penangkapan murni penilaian polisi.
Bahkan dalam surat perintah penahanan tidak ada kewajiban menguraikan alasan penahanan secara substansial.
"KUHAP ke depan harus diubah untuk memastikan adanya mekanisme yang mewajibkan aparat kepolisian untuk menghadapkan tersangka kepada hakim setelah ditangkap untuk dilakukan penilaian oleh hakim mengenai perlu tidaknya dilakukan penahanan sehingga kejadian praktik penyiksaan dalam proses penangkapan dan penahanan dapat diminimalisir," tukasnya.
Seturut dengan itu, pihaknya bersama Aliansi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian mendesak Presiden Jokowi mengusut tuntas tindakan penyiksaan pada proses penangkapan dan penahanan terhadap korban OK yang dilakukan aparat kepolisian di Polsek Baturaden, Banyumas.
Dengan melihat praktik selama ini, mekanisme internal kepolisian melalui Propam maupun Kompolnas tidak dapat lagi diharapkan untuk menuntut pertanggungjawaban terkait pengusutan dugaan kasus penyiksaan di lingkungan Polri.
BACA JUGA: Kronologi Kasus Kematian Tahanan di Banyumas, Diduga Korban Penyiksaan
Aliansi mendesak DPR khususnya Komisi III melalui fungsi pengawasannya untuk memanggil Kapolri dan mengevaluasi kinerja kepolisian terkait pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi terhadap korban OK, termasuk mengevaluasi secara menyeluruh kewenangan upaya paksa kepolisian yang terlalu besar, termasuk audit penggunaan anggaran untuk upaya paksa utamanya penahanan
Dalam tataran normatif, Pemerintah dan DPR segera meratifikasi Optional Protocol to the Convention against Torture (OPCAT) untuk memperkuat pengawasan dan pemantauan tempat penahanan yang menjadi ruang terjadinya penyiksaan.
"Dalam tataran normatif yang lebih besar, Pemerintah dan DPR segera mengambil langkah konkret melakukan revisi KUHAP guna menghadirkan pengawasan oleh pengadilan (judicial scrutiny) dalam proses penangkapan dan penahanan," tukasnya.
Diketahui, korban OK dituduh mencuri motor di Banyumas. Dia kemudian ditangkap sejumlah petugas kepolisian pada 17 Mei 2023 pukul 22.13 WIB.
Menurut pengakuan keluarga korban, OK tidak boleh dijenguk di tahanan sampai 20 hari setelah ia ditangkap.
BACA JUGA: Tahanan di Banyumas Meninggal Diduga Korban Kekerasan, 11 Polisi Jalani Pemeriksaan
Dan tiba-tiba pada pertengahan Juli 2023 lalu, keluarga korban mendapatkan kabar bahwa OK telah meninggal dunia.
Atas berita tersebut, Kapolres Banyumas menyampaikan kepada publik bahwa korban meninggal karena disiksa oleh sesama tahanan.
"Pernyataan Kapolres Banyumas tersebut patut diperiksa kebenarannya. Jangan sampai hal itu menjadi upaya untuk menutupi kesalahan anggota kepolisian dengan cara menyalahkan sesama tahanan," kata Ketua YLBHI Muhammad Isnur dalam rilis pada Senin, 17 Juli 2023.
Karena berdasarkan gambar-gambar yang dikeluarkan oleh LBH Yogyakarta dan YLBHI yang mendampingi korban OK dan keluarganya, menunjukkan penyiksaan sudah terjadi sejak awal penangkapan oleh anggota kepolisian.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bersama 18 LBH Kantor di seluruh Indonesia mencatat bahwa dalam kurun waktu 2019-2022 di Jakarta saja ditemukan 7.632 orang menjadi korban penangkapan sewenang wenang, 394 di antaranya ditetapkan sebagai tersangka, dan 179 harus ditahan.
Dalam dua tahun terakhir, YLBHI menangani 12 kasus penyiksaan, termasuk kasus penyiksaan yang terjadi di Banyumas.
Data penanganan kasus YLBHI tersebut juga dikonfirmasi oleh hasil pemantauan yang dilakukan KontraS.
KontraS mencatat sepanjang Juni 2022 - Mei 2023 setidaknya ditemukan 54 kasus penyiksaan yang mengakibatkan 68 orang luka-luka dan 18 orang tewas.
Sebagian besar pelaku dari kasus tersebut adalah anggota kepolisian, yakni 34 kasus. []