Hukum Rabu, 18 Mei 2022 | 17:05

Tahanan Tewas di Polrestabes Makassar, ICJR: Penahanan di Kepolisian Sebaiknya Dilarang

Lihat Foto Tahanan Tewas di Polrestabes Makassar, ICJR: Penahanan di Kepolisian Sebaiknya Dilarang Ilustrasi tahanan. (Foto: Ist)
Editor: Tigor Munte

Jakarta - Kematian tahanan, tersangka narkoba Muhammad Arfandi Ardiansyah (18) di Polrestabes Makassar, Sulawei Selatan, menambah deret panjang kasus serupa di kepolisian.

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) membeber sejumlah kasus kematian tahanan kepolisian selama proses penyidikan berlangsung.

Diketahui sebelumnya, Muhammad Arfandi Ardiansyah tewas pada Senin, 16 Mei 2022. Dia ditangkap terkait kasus narkoba pada Minggu, 15 Mei 2022. 

Direktur ICJR Erasmus Napitupulu pun membeber sejumlah kejadian serupa dalam catatan mereka, kematian tahanan kepolisian ketika proses penyidikan sedang berlangsung.

1. Pada Maret 2020, Kapolres Lubuklinggau mengumumkan ditetapkannya empat orang penyidik Polsek Lubuklinggau sebagai tersangka dalam kasus kematian Hermanto, tahanan di Polsek Lubuklinggau.

2. Pada September 2020, kematian menimpa Joko Dodi Kurniawan dan Rudi Efendi, tersangka kasus perampokan yang ditahan di Polsek Sunggal.

3. Pada Desember 2020, kematian Herman diberitakan terjadi pada saat dirinya ditahan di Polres Balikpapan.  Enam orang polisi dijadikan tersangka dalam kasus ini.

4. Pada Januari 2021, Deki Susanto diberitakan disiksa dan ditembak ketika ditahan di kepolisian oleh seorang Bripka yang kemudian dijadikan tersangka dalam kasus kematiannya. 

Baca juga:

Bandar Sabu di Makassar Tewas Usai Ditangkap Polisi, Tubuh Penuh Luka Lebam

"Temuan-temuan tersebut baru beberapa contoh yang dapat dijangkau melalui pemberitaan media, sehingga tidak menutup kemungkinan masih ada kasus-kasus serupa lainnya yang terjadi selama ini luput dari pemberitaan oleh media," terang Erasmus dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 18 Mei 2022.

Kewenangan Penahanan di Kepolisian

Erasmus memandang kejadian ini memang mustahil dihilangkan jika tidak ada perubahan mendasar melalui revisi KUHAP untuk menghadirkan pengawasan oleh pengadilan (judicial scrutiny) dalam proses penangkapan dan penahanan. 

Ini perlu dilakukan sebagai usaha untuk mengakhiri akar penyebab masalah ini yang terletak pada kewenangan kepolisian yang begitu besar untuk melakukan penahanan tanpa ada mekanisme pengawasan yang ketat, terlebih ketika kantor kepolisian juga digunakan sebagai tempat penahanan. 

Padahal Penjelasan Pasal 22 ayat (1) KUHAP dan Pasal 18 PP No. 27 tahun 1983 menyebutkan bahwa penahanan di kantor kepolisian hanya diperbolehkan dilakukan apabila di daerah tersebut belum terdapat Rumah Tahanan Negara. 

"Artinya penahanan kepolisian bersifat sementara dan bukan suatu hal yang biasa," tukasnya. 

Disebutkan, ketika penahanan dilakukan di kantor kepolisian, kontrol penuh terhadap tersangka ada di tangan penyidik dengan kepentingan penegakan hukum, memperoleh bukti untuk memperkuat perkaranya. 

Dalam kondisi seperti itu, tidak dapat dipungkiri kekerasan mulai yang dilakukan secara verbal dalam bentuk intimidasi hingga fisik, sangat rentan terjadi. 

Perubahan KUHAP

Erasmus berujar, dalam perubahan KUHAP ke depan penahanan di kantor kepolisian harus dilarang.

Sebab dalam konteks ini akan membuka peluang terjadinya incommunicado detention, atau praktik penahanan tanpa komunikasi dengan dunia luar. 

Untuk itu otoritas yang mengelola tempat penahanan harus dipisahkan dengan otoritas yang melakukan penyidikan. 

Hal ini harus dijamin untuk memastikan proses check and balances dapat berjalan dalam penahanan pra persidangan. 

"Jaminan ini harus ada dalam KUHAP untuk menghindari adanya praktik-praktik penyiksaan dan pemeriksaan di waktu-waktu yang tidak wajar, sebagaimana terjadi di dalam kasus-kasus penyiksaan yang ada saat ini," tukasnya. 

Baca juga:

Tahanan Kasus Narkoba Tewas di Makassar, ICJR: Pelaku Harus Dipidana

Menurut dia, selama ini penahanan pun juga dilakukan oleh aparat kepolisian dengan begitu mudah. 

Tidak ada kewajiban menghadirkan tersangka ke depan hakim, keputusan menahan/tidak menahan pasca penangkapan murni penilaian polisi. 

Seringkali masa penahanan dihabiskan, padahal pemeriksaan juga tidak dilakukan. Bahkan dalam surat perintah penahanan tidak ada kewajiban menguraikan alasan penahanan secara substansial. 

"KUHAP ke depan harus diubah untuk memastikan adanya mekanisme yang mewajibkan aparat untuk menghadapkan tersangka kepada hakim segera setelah ditangkap untuk dilakukan penilaian oleh hakim mengenai perlu tidaknya dilakukan penahanan," terang Erasmus. 

UU Narkotika

Erasmus kemudian menyebut, UU Narkotika juga harus dirombak. Penangkapan 3x24 jam yang dapat berujung pada incommunicado detention, atau penahanan tanpa informasi pada pihak luar dikarenakan masa penangkapan yang begitu panjang.

Berbeda dengan penahanan yang harus jelas informasi di mana penahanan dilakukan, penangkapan tidak mensyaratkan informasi tempat penangkapan, hal ini yang biasanya menjadi celah penyiksaan dilakukan karena tersangka dibawa ke tempat-tempat tanpa ada informasi dan akses pada pihak luar seperti keluarga atau advokat. 

Melihat kegentingan revisi KUHAP dan UU Narkotika untuk memperkuat sistem pengawasan oleh pengadilan terhadap kewenangan aparat yang begitu besar khususnya dalam proses penangkapan dan penahanan yang terbukti rentan disalahgunakan, ICJR kata dia, kembali menyerukan agar inisiasi pembahasan perubahan KUHAP dan UU Narkotika segera dimulai di DPR. 

"Untuk mengatasi kekerasan dan penyiksaan tahanan, semua pihak mulai dari pemerintah, DPR, Komnas HAM, lembaga-lembaga dalam kerja sama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) juga harus menyerukan penghentian penahanan di kantor-kantor kepolisian," pungkasnya. []

 

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya