Jakarta - Wakil Ketua KPK Johanis Tanak menyatakan revisi Peraturan Tata Tertib (Tatib) DPR yang memungkinkan evaluasi pejabat negara rentan digugat secara hukum.
Menurutnya, aturan baru itu berpotensi melanggar hierarki perundang-undangan yang telah diatur dalam sistem hukum Indonesia.
"Peraturan DPR berada di bawah UU, sehingga bila ada pihak yang merasa dirugikan, mereka dapat mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung (MA) RI," ujar Tanak seperti mengutip catatan CNNIndonesia, Kamis, 6 Februari 2025.
Perubahan Tatib DPR, yang salah satunya menyasar pimpinan KPK dan Dewan Pengawas KPK, menjadi perhatian serius.
Tanak menjelaskan bahwa dalam hukum administrasi negara, pejabat hanya dapat diberhentikan oleh lembaga yang mengangkatnya, dalam hal ini Presiden RI.
"Surat keputusan pemberhentian pejabat hanya dapat dilakukan oleh pejabat dari lembaga yang mengangkatnya," tegasnya.
Ia menambahkan bahwa pembatalan keputusan pengangkatan hanya bisa terjadi jika ada putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang menyatakan keputusan tersebut tidak sah. Aturan ini diatur dalam UU 5/1986.
"Hal ini dapat dijadikan dasar permohonan judicial review ke MA jika aturan DPR bertentangan dengan UU," ucap Tanak.
DPR RI merevisi Peraturan Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib dengan menambahkan Pasal 228A.
Pasal itu memberikan DPR wewenang melakukan evaluasi berkala terhadap pejabat yang telah ditetapkan melalui rapat paripurna DPR.
"Inisiatif revisi ini berasal dari usulan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dan langsung dibahas serta disetujui delapan fraksi," kata Ketua Baleg DPR Bob Hasan.
Penetapan aturan ini terbilang kilat. Usulan yang tidak ada dalam agenda harian langsung dibawa ke Paripurna untuk disahkan setelah mendapat persetujuan Badan Musyawarah DPR.
Johanis Tanak mengingatkan bahwa langkah ini dapat merusak sistem hukum dan mereduksi independensi lembaga negara yang selama ini dijaga konstitusi.[]