Jakarta - Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) tengah mengkaji wacana penerapan kebijakan baru yang mewajibkan para pemengaruh (influencer) dan kreator konten di Indonesia untuk memiliki sertifikasi sebelum membuat konten tertentu.
Kajian ini dilakukan merespons kebijakan serupa yang baru saja diberlakukan oleh pemerintah China.
Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Komdigi, Bonifasius Wahyu Pudjianto, atau yang akrab disapa Boni, menegaskan bahwa wacana ini masih dalam tahap pembahasan internal dan belum menjadi keputusan final.
"Informasi ini masih baru, kami masih kaji dulu memang. Kami ada grup WA (WhatsApp), kami lagi bahas `Gimana ini isu ini? Ada negara udah mengeluarkan kebijakan baru nih`, ini masih kita kaji," ujar Boni seperti dikutip dari Antara, Selasa, 4 November 2025.
Boni menjelaskan bahwa Komdigi secara rutin memantau kebijakan dari negara lain yang dapat menjadi referensi untuk menjaga ekosistem digital nasional.
Ia mencontohkan, kebijakan Australia yang membatasi penggunaan media sosial bagi anak di bawah umur turut menginspirasi lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas).
Menurutnya, ide sertifikasi bagi influencer ini bisa menjadi upaya untuk memastikan kompetensi para pembuat konten, terutama ketika membahas isu-isu yang sensitif, tanpa bermaksud mengurangi kebebasan berekspresi.
"Kita perlu menjaga, tapi jangan sampai terlalu mengekang. Kompetensi memang diperlukan, jangan sampai muncul tadi justru mereka yang membuat konten yang salah," tuturnya.
Meski demikian, Boni menegaskan pemerintah masih membuka ruang dialog dan menerima masukan dari berbagai pihak sebelum menentukan arah kebijakan yang tepat.
"Kita harus mendengar (masukan) . Kalau perlu (diterapkan), oke, tapi gimana? Seperti apa? Kan pasti ada leveling grade-nya. Seperti apa harus kita atur? Menyasar siapa saja? Karena sekarang yang jadi konten kreator banyak banget," ungkap Boni.
Mengacu pada Kebijakan China
Sebagai perbandingan, pemerintah China melalui Administrasi Radio dan Televisi Negara (NRTA) dan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, telah mengumumkan aturan baru pada 10 Oktober 2025.
Aturan tersebut mewajibkan influencer memiliki ijazah atau sertifikasi akademik sebelum membuat konten profesional di bidang-bidang kritis seperti kedokteran, hukum, keuangan, pendidikan, dan kesehatan.
Melalui kebijakan ini, platform-platform besar di China seperti Douyin (TikTok versi Tiongkok), Bilibili, dan Weibo diwajibkan untuk memverifikasi kualifikasi akademik kreator sebelum mengizinkan mereka memublikasikan konten profesional.
Sanksi bagi pelanggarnya dapat berupa denda hingga 100.000 yuan (sekitar Rp 230 juta) atau penutupan akun.
Kebijakan dari Negeri Tirai Bambu ini merupakan bagian dari upaya menjaga integritas informasi daring dan memerangi penyebaran hoaks, sebuah pendekatan yang kini turut menarik perhatian pemerintah Indonesia untuk dikaji lebih lanjut.[]