Jakarta — Varian baru COVID-19 yang diberi nama NB.1.8.1 atau Nimbus kini menjadi sorotan dunia setelah menunjukkan peningkatan signifikan sejak pertengahan April 2025.
Laporan WHO mencatat, varian ini mulai menggantikan dominasi LP.8.1 secara global.
Pakar Kesehatan dari FKUI, Prof. Tjandra Yoga Aditama, menjelaskan bahwa varian Nimbus telah masuk klasifikasi Variant Under Monitoring (VUM) oleh WHO.
Meski belum ditetapkan sebagai varian yang mengkhawatirkan (VOC), Nimbus dianggap memiliki potensi serius bila tren dan datanya terus berkembang.
“Nimbus ini terkait dengan varian sebelumnya seperti XDV.1.5.1 dan JN.1. Ia membawa sejumlah mutasi penting, terutama di protein spike virus,” ungkap Tjandra dalam keterangan di Jakarta, Rabu, 11 Juni 2025.
Mutasi yang paling diperhatikan, lanjut Tjandra, terdapat di posisi 445 (V445H), yang meningkatkan ikatan virus dengan reseptor hACE2 di tubuh manusia. Hal ini diduga menjadi penyebab utama varian ini lebih mudah menular.
Selain itu, mutasi di posisi 435 dan 478 menunjukkan penurunan kemampuan antibodi dalam menetralisasi virus.
“Artinya, kekebalan dari infeksi sebelumnya atau vaksinasi bisa tidak seefektif menghadapi varian ini,” jelasnya.
Data dari GISAID mencatat sebanyak 518 sekuens varian Nimbus telah dilaporkan dari 22 negara hingga 18 Mei 2025.
Dalam waktu satu bulan, proporsi varian ini melonjak dari 2,5 persen menjadi 10,7 persen secara global, khususnya di Asia, Eropa, dan Amerika.
Tjandra menekankan pentingnya respons cepat dari Indonesia. Ia menyarankan pemerintah memperkuat surveilans genomik, termasuk pengujian pada semua pasien SARI serta 5 persen kasus ILI, untuk kemudian dikirim ke proses Whole Genome Sequencing.
Dari sisi klinis, varian ini disebut menimbulkan gejala khas seperti sakit tenggorokan hebat, lemas, batuk ringan, demam, dan nyeri otot. Namun tingkat keparahannya masih dalam tahap kajian.
“Menariknya, penyebaran varian ini terjadi pada musim panas, menandakan bahwa COVID-19 tidak lagi terbatas pada musim dingin,” kata Tjandra yang juga menjabat Direktur Pascasarjana Universitas YARSI.
Ia menutup pernyataannya dengan imbauan agar deteksi dini dan kesiapsiagaan ditingkatkan seiring perkembangan mutasi virus yang terus berubah.
“Jangan lengah. Kita perlu bergerak cepat sebelum varian ini menyebar lebih luas,” tegasnya.[]