Jakarta - Tiga pimpinan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dan Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra menggugat UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu Pasal 222.
Dua pihak sebagai pemohon I dan pemohon II di Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut, menguji ketentuan presidential threshold 20 persen kursi DPR RI atau 25 persen suara sah nasional, guna mengusung calon presiden dan calon wakil presiden.
Pasal ini sebetulnya telah berkali-kali diajukan dan dinyatakan ditolak atau tidak diterima oleh MK.
Namun Pimpinan DPD RI dan kubu Yusril berkeyakinan permohonan ini memiliki alasan berbeda dari permohonan sebelumnya.
MK menggelar sidang pengujian pada Selasa, 17 Mei 2022 di Ruang Sidang Panel MK dihadiri Wakil Ketua MK Aswanto serta Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul dan Enny Nurbaningsih.
Pimpinan DPD RI, yakni Aa La Nyalla M. Mattalitti, Nono Sampono, Mahyudin, Sultan Bachtiar Najamudin pemohon I.
PBB diwakili oleh Yusril Ihza Mahendra selaku Ketua Umum dan Afriansyah Noor selaku Sekretaris Jenderal PBB sebagai pemohon II.
Perkara nomor: 52/PUU-XX/2022 mendalilkan Pasal 222 UU Pemilu.
Baca juga:
Uji Ambang Batas Pencalonan Presiden Kandas di Mahkamah Konstitusi
Pada sidang kedua dengan agenda perbaikan permohonan, Muhamad Raziv Barokah selaku kuasa hukum para pemohon menyebutkan penyempurnaan yang dilakukan.
Di antaranya menambahkan kewenangan Pimpinan DPD RI dengan menyertakan ketentuan dalam UU MD3 yang menyatakan tentang hal tersebut.
Raziv menyebutkan pemohon I sebagai lembaga negara yang memiliki tugas dan tanggung jawab melindungi kepentingan daerah.
Para anggotanya menilai pasal a quo yang mengatur ketentuan presidential threshold 20 persen kursi DPR RI atau 25 persen suara sah nasional, telah menghalangi hak serta kewajiban pemohon I untuk memajukan dan memperjuangkan kesetaraan putra putri daerah dalam mencalonkan diri sebagai calon presiden dan wakil presiden.
Berikutnya, pemohon juga telah menambahkan keterangan terkait kewenangan Pimpinan PBB beserta AD/ART untuk memperkuat kedudukan hukum pemohon II.
“Selanjutnya para pemohon menambahkan alasan permohonan tentang kerugian konstitusionalnya dan melakukan elaborasi agar tidak nebis in idem dengan permohonan-permohonan sebelumnya yang telah diajukan ke MK,” sebut Raziv.
Kehadiran ketentuan ini, sambungnya, hanya memberikan akses khusus kepada elite politik yang memiliki kekuatan tanpa menimbang kematangan kualitas dan kapabilitas serta keahlian setiap individu.
Sementara itu terkait dengan pemohon II yang merupakan peserta Pemilu 2019 lalu menilai, keberlakukan Pasal 222 UU Pemilu menghilangkan probabilitas partai politik.
Untuk itu, dalam petitumnya para pemohon meminta agar MK mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya dan menyatakan Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD NKRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. []