Jakarta - Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Kehutanan Komisi IV DPR RI Abdul Kharis Almasyhari menyoroti kondisi kehutanan yang semakin memprihatinkan.
Dia menyebut telah terjadi pengurangan area hutan dalam jumlah besar, perubahan fungsi kawasan, hingga kerusakan yang membuat suatu wilayah tidak lagi dapat disebut sebagai hutan.
“Faktanya, banyak sekali area hutan yang hilang dan berubah keadaan. Ada sekian juta hektare hutan yang hilang dan rusak. Temuan pembalakan liar juga sangat banyak dan benar-benar merugikan kawasan hutan kita,” ujarnya saat memimpin kunjungan kerja ke Provinsi Sumatera Selatan pada Selasa, 2 Desember 2025.
Kerusakan tersebut, sambungnya, tidak hanya berdampak pada ekosistem hutan, tetapi juga pada masyarakat sekitar dan wilayah lain yang memiliki keterkaitan ekologis dengan kawasan tersebut.
Legislator Dapil Jawa Tengah ini juga meluruskan persepsi mengenai mekanisme penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor kehutanan.
Banyak anggapan bahwa PNBP yang berasal dari daerah dapat langsung digunakan untuk kegiatan setempat, namun Ia menegaskan hal itu tidak sesuai mekanisme yang berlaku.
“PNBP itu punya mekanisme sendiri. Jadi tidak serta-merta PNBP dari sini langsung dipakai di sini. Itu berada di Kementerian Keuangan,” tutur dia.
Melalui kunker, Panja RUU Kehutanan berharap dapat merumuskan regulasi yang lebih komprehensif, akurat, dan berbasis kondisi lapangan.
Penyusunan RUU Kehutanan diharapkan mampu memperkuat perlindungan hutan nasional serta menjawab berbagai tantangan serius, terutama terkait pembalakan liar dan lemahnya pengawasan kawasan hutan.
Kerusakan Hutan Sumatra
Walhi Sumut dalam keterangannya baru-baru ini mengungkap bagaimana kawasan hutan di Sumatra Utara mengalami kerusakan, salah satunya ekosistem Harangan Tapanuli/Batang Toru yang merupakan hutan penyangga hidrologis di kawasan Tapanuli.
Direktur Eksekutif Walhi Sumut, Rianda Purba menyebut, Ekosistem Harangan Tapanuli/Batang Toru merupakan salah satu bentang hutan tropis esensial terakhir di Sumatera Utara.
Secara administratif, 66,7% berada di Tapanuli Utara, 22,6% di Tapanuli Selatan, dan 10,7% di Tapanuli Tengah.
Sebagai bagian dari Bukit Barisan, hutan ini menjadi sumber air utama, mencegah banjir dan erosi, serta menjadi pusat Daerah Aliran Sungai (DAS) menuju wilayah hilir.
Namun, hutan tropis itu mengalami penyusutan drastis menyusul hadirnya sejumlah korporasi di kawasan itu.
PT Agincourt Resources, misalnya sepanjang 2015–2024, perusahaan ini telah mengurangi tutupan hutan dan lahan sekitar 300 hektare di DAS Batang Toru.
PLTA Batang Toru (PT NSHE) juga berkontribusi menyebabkan hilangnya lebih dari 350 hektare tutupan hutan di sepanjang 13 km daerah sungai.
Kemudian, skema PHAT (Pemanfaatan Kayu Tumbuh Alami) di kawasan koridor satwa yang menghubungkan Dolok Sibualbuali–Hutan Lindung Batang Toru Blok Barat telah terdegradasi sedikitnya 1.500 hektare dalam tiga tahun terakhir.
Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) dalam rilisnya pasca bencana Pulau Sumatra pada 25 November 2025, mengungkap perubahan tutupan lahan di Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah sejak 1990 hingga 2024.
Penurunan tutupan hutan alam di Tapanuli Selatan dalam lebih dari tiga dekade sekitar 46.640 hektare hutan alam.
Kehilangan terbesar terjadi pada periode 1990–2000, yakni 26.223 hektare, dan berlanjut pada 2000–2010 dengan kehilangan 10.672 hektare.
Data perubahan tutupan lahan ini berjalan searah dengan perluasan penggunaan lahan lain sejak 1990–2024 terjadi penambahan kebun sawit seluas 42.034 hektare, perluasan kebun kayu eukaliptus sebesar 1.107 hektare, serta identifikasi 298 lubang tambang.
Kondisi serupa juga tampak di Tapanuli Tengah. Sejak 1990 hingga 2024, wilayah ini kehilangan sekitar 16.137 hektare hutan alam.
Kehilangan terbesar terjadi pada periode 1990–2000, yakni 9.023 hektare, disusul periode 2010–2020 sebesar 6.154 hektare. Pola ini menunjukkan kerusakan hutan yang berlangsung bertahap namun konsisten dalam tiga dekade terakhir.
Berbeda dengan Tapanuli Selatan, perubahan tutupan lahan di Tapanuli Tengah tidak menunjukkan lonjakan dramatis pada perluasan kebun sawit, kebun kayu, maupun aktivitas pertambangan.
Analisis KSPPM berbasis mapbiomas.org mencatat bahwa penambahan kebun sawit dan kebun kayu hanya sekitar 853,54 hektare. Sebagian besar perubahan tutupan lahan justru beralih menjadi gambut, mangrove, sawah, permukiman, dan bentuk lahan lain. []