*Oleh: Yano Riksan Tidore (Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Ekonomi Business Universitas Paramadina)
Sejak pembentukannya melalui amandemen ketiga Undang-undang Dasar 1945, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) diharapkan dapat menjadi representasi daerah dalam proses legislasi di tingkat nasional. Namun, bahkan setelah diberikan tempat di struktur konstitusi, DPD RI sering diasumsikan sebagai "anak tiri" konstitusi Indonesia.
Dengan kewenangan legislasi yang terbatas, DPD RI tetap berada di persimpangan peran. Meski proses reformasi konstitusi telah menunjukkan bahwa perubahan mungkin akan datang, DPD RI terus berusaha mencari tahu bagaimana cara terbaik untuk melegalisasi posisi dan fungsinya di depan hukum dalam sistem pemerintahan yang didominasi oleh DPR RI (B Utami, 2022).
Keterbatasan DPD-RI dalam Fungsi Legislasi
Untuk mencapai tujuan bersama, setiap undang-undang harus dibahas dan mendapatkan persetujuan bersama oleh Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sebagaimana diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang Dasar 1945. Solihah dkk. (2024) menunjukkan bahwa dalam proses ini, DPD RI tidak memiliki posisi yang setara dengan DPR RI.
DPD RI dalam proses legislasi dalam pasal 22 D UUD 1945 dan UU Nomor 42 Tahun 2017 pasal 248 sampai dengan 259 yang mengatur tentang tugas dan wewenang DPD RI hanya sebatas memberikan masukan dan pertimbangan terhadap regulasi tertentu, terutama yang terkait dengan pemerintahan daerah, otonomi daerah, kerja sama antardaerah, pembentukan daerah, pemekaran daerah, dan sumber daya alam, serta keuangan daerah.
Keterbatasan kewenangan ini menimbulkan pertanyaan serius tentang status DPD RI sebagai lembaga negara. Ketika DPD RI dibatasi hanya sebatas memberikan pertimbangan tanpa ikut serta pengambilan keputusan akhir dalam perundingan RUU, maka fungsi legislasi DPD RI dihilangkan.
Hal ini membuat DPD RI tampak seperti "anak tiri" dalam sistem legislasi, di mana ketaatannya diakui namun konsekuensinya dalam proses legislasi tidak diberikan setara seperti DPR RI.
Dampak Keterbatasan Ini Terhadap Daerah
Failaq (2023) menjelaskan bahwa melemahnya fungsi legislasi DPD RI berdampak langsung pada keterwakilan daerah dalam hasil kesepakatan. Oleh karena itu, tujuan DPD RI adalah untuk memastikan bahwa kebutuhan daerah dapat diakomodasi secara memadai dalam kebijakan nasional.
Tanpa adanya dampak yang signifikan terhadap proses penyusunan RUU, DPD RI acapkali hanya menjadi penonton dalam proses legislasi yang berdampak langsung pada daerah.
Keterbatasan ini mengakibatkan aspirasi daerah tidak sepenuhnya tersampaikan dan terwujud dalam undang-undang, yang seharusnya menjadi instrumen untuk mengukur kehidupan kebangsaan Oleh karena itu, batasan-batasan tersebut harus dapat menjadi alat untuk mentransformasikan kehidupan berbangsa dan bernegara yang beragam secara adil dan wajar.
Oleh karena itu, status DPD RI sebagai suara daerah dalam sistem legislasi nasional perlu dipertimbangkan secara matang agar dampak dan fungsinya tidak hanya sebatas formalitas, tetapi juga berpotensi memberikan dampak positif bagi seluruh Indonesia.
Revisi Peran DPD RI: Sebuah Keniscayaan?
Menghadapi problem ini, banyak pihak yang merasa bahwa peninjauan kembali terhadap kebijakan dan fungsi DPD RI perlu dilakukan agar lembaga ini lebih efektif dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Ketua Badan Legislasi DPD RI atau perancang undang-undang DPD-RI, Jhon Feris menyatakan bahwa MPR perlu meninjau kembali UUD 1945 tentang fungsi Dewan Perwakilan Rakyat yang masih sangat terbatas, (Kabar Senator DPD RI, 2024).
Salah satu solusi yang diusulkan adalah dengan memperkuat fungsi legislasi DPD RI melalui amandemen UUD 1945 atau peraturan perundang-undangan yang relevan. Dengan demikian, DPD RI dapat benar-benar menjadi mitra sejajar bagi DPR RI dalam pembahasan RUU, terutama yang berkaitan dengan kepentingan daerah.
DPD-RI di Persimpangan Peran
Untuk menghadapi tantangan ini, DPD RI kini berada di persimpangan peran. Untuk menyamakan fungsi kewenangan dengan DPR RI, perlu perjuangan keras. Langkah yang harus dilakukan adalah pertama, terus berupaya memperkuat kewenangan legislatif melalui amandemen konstitusi atau undang-undang.
Beberapa pihak telah sepakat untuk memastikan bahwa DPD RI akan memberikan lebih banyak kewenangan legislasi atau hak veto, biasanya dalam hal-hal yang berkaitan langsung dengan kepentingan daerah.
Dalam Pasal 3 Mahkamah Konstitusi 2012 mengenai UU MD3, Lukman wakil ketua MPR RI dalam keterangannya menekankan bahwa tuntutan DPD harus dipenuhi untuk mengakomodasi reformasi. Dalam konteks demokrasi, pembentukan DPD adalah untuk memperkukuh DPR sebagai lembaga aspirasi politik rakyat, sementara DPD sebagai lembaga penyalur keanekaragaman aspirasi daerah.
Kewenangan DPD dalam legislasi limitatif sesuai yang diamanatkan dalam Pasal 22 UUD 1945. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 22 UUD 1945, DPD terikat oleh undang-undang dengan kewenangan yang terbatas.
Selain itu, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Yuliandri di ruang sidang yang sama menjelaskan dalam merancang undang-undang, seharusnya tidak hanya melibatkan DPR dan Presiden saja. DPD, lanjut Yuliandri, juga harus dilibatkan bukan hanya pada tahap I saja agar norma UUD dapat dilaksanakan secara konsisten, keterlibatan DPD dalam rancangan undang-undang jangan hanya tahap I saja, tapi semua tahapan (MKRI, 2012).
Jika kewenangan DPR RI disamakan dengan DPD RI secara konsensual, maka hal ini diyakini akan mempertahankan pengaruh yang lebih signifikan dalam proses legislasi dan meningkatkan keterwakilan daerah dalam kebijakan nasional.
Kedua, untuk meningkatkan kesadaran akan DPD RI dan fungsi advokasinya. Terlepas dari sifat legislasi yang tidak dapat diprediksi, DPD RI dapat berkonsentrasi pada penerapan undang-undang yang memiliki dampak signifikan terhadap daerah dan berfungsi sebagai advokat yang penting bagi kebutuhan daerah. Dengan memaksimalkan fungsi ini, DPD RI dapat terus relevan dan berkontribusi pada pengembangan kebijakan yang lebih adil dan bijaksana.
Simpulan dan Saran
Sebagai "anak tiri konstitusi", DPD RI secara konsisten menghadapi beberapa tantangan dalam menjalankan fungsinya. Namun, di persimpangan peran ini, DPD-RI memiliki kesempatan untuk menentukan masa baktinya. DPD RI harus terus berusaha agar dapat berperan lebih efektif dalam sistem pemerintahan Indonesia.
Apakah akan memperjuangkan kewenangan legislasi yang bersifat pengawasan atau fokus pada peran pengawasan dan advokasinya, DPD RI harus terus berusaha agar dapat berperan lebih efektif dalam sistem pemerintahan Indonesia. Pada akhirnya, keberhasilan DPD RI dalam melancarkan operasionalnya akan sangat bergantung pada kemampuannya untuk beradaptasi dan berinovasi dalam menghadapi tantangan yang ada.[]