Jakarta - Bangsa Indonesia, umat Islam dan terutama warga Muhammadiyah berduka dengan wafatnya KH Ahmad Syafii Maarif, Ketua Umum PP Muhammadiyah 1998-2005.
Sosok teladan, bukan hanya di kalangan Islam, tetapi juga bagi warga Indonesia yang mengenal pribadinya.
Seorang ulama dan juga cendekiawan sederhana. Namun nasihatnya sangat berharga bagi siapa saja, termasuk bagi Presiden Jokowi.
Jokowi menyebutnya sebagai Guru Bangsa. "Buya Syafii telah pergi, tetapi almarhum tetap hidup dalam ingatan kita sebagai guru bangsa yang sederhana," begitu Jokowi tulis di Twitternya, Jumat, 27 Mei 2022.
Banyak pihak kehilangan dengan kepergiannya pada Jumat pukul 10.15 WIB di RS PKU Muhammadiyah Gamping, Yogyakarta.
Baca juga:
Presiden Jokowi Beri Penghormatan Terakhir untuk Buya Syafii Maarif
Pria yang kerap disapa dan disebut sebagai Buya Syafii Maarif, itu lahir 31 Mei 1935 di Sumpur Kudus, Sijunjung, Sumatra Barat. Dimakamkan ke Pemakaman Husnul Khotimah, Kulon Progo, Yogyakarta.
Kenapa dia disebut dengan Buya? Mengutip wikipedia, Buya atau Abuya adalah kata sapaan kekeluargaan untuk orang tua laki-laki, sama dengan sapaan ayah.
Kata ini berasal dari bahasa Arab yang bermakna ayahku, dengan kata dasar `abun` dan `ya`.
Di Sumatra, khususnya Minangkabau, gelar ini dapat pula merujuk kepada orang yang alim dalam ilmu agama.
Seseorang dipanggil Buya terutama disebabkan pemahamannya yang mendalam terkait pengetahuan agama.
Istilah Buya kerap diasosiasikan dengan Kiai di Jawa. Namun, posisi Buya di Minang tidak sesakral Kiai.
Di Jawa seorang santri sangat takut kepada Kiainya, bahkan ketika Kiai menjelaskan kitab, sangat jarang ditemukan santri yang mau mengkritik Kiainya.
Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online, Buya merupakan kata sapaan Islami kepada orang tua laki-laki atau bermakna bapak. Di Minang merupakan gelar ulama dan di Jawa disebut Kiai. []