News Jum'at, 11 Agustus 2023 | 19:08

Revisi UU Desa oleh DPR RI Bermotif Politik Jelang Pemilu 2024

Lihat Foto Revisi UU Desa oleh DPR RI Bermotif Politik Jelang Pemilu 2024 Kepala desa demo desak revisi UU Desa. (Foto: Ist)
Editor: Tigor Munte

Medan - Jaringan Advokasi Masyarakat Sipil Sumatera Utara (JAMSU) menolak dengan tegas rencana revisi UU Desa yang saat ini sedang digodok oleh DPR RI. 

Berkaca dari pengalaman dan riset yang dilakukan, JAMSU melihat tidak ada urgensi dari revisi UU Desa. 

"Kecenderungan yang muncul adalah bahwa revisi ini politis karena dilakukan mendekati Pemilu 2024," kata Juni dari JAMSU lewat siaran pers diterima Opsi.id, Jumat, 11 Agustus 2023.

Pihaknya kata dia, mendukung UU Desa yang mengakui hak dan kewenangan desa sebagai subjek mandiri dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di desa. 

JAMSU juga menilai UU Desa sebagai perwujudan dari perubahan paradigma tentang desa yang tidak lagi menjadi sub-pemerintahan kabupaten, melainkan menjadi pemerintahan yang mandiri mengelola sumber daya dan keuangan desa secara otonom. 

"Berkaca dari sini kemudian JAMSU melihat bahwa bila dilakukan revisi akan menghambat desa menuju sejahtera dan demokratis," katanya.

Dia memberi contoh wacana revisi masa jabatan kepala desa. Revisi ini sebagai bentuk kemunduran demokrasi, karena DPR RI mengasumsikan daya rusak kekeluargaan yang diakibatkan oleh sisa konflik pilkades bisa reda jika pemerintahan dilakukan 9 tahun. 

Dalam hal ini DPR RI menganggap waktu 6 tahun dirasa belum cukup untuk mereduksi sisa konflik. Hal ini kemudian menjadi syarat yang digunakan oleh DPR RI untuk mempertimbangkan kuantitas masa jabatan dari 6 tahun menjadi 9 tahun. 

"JAMSU melihat soal utamanya bukan di sana, melainkan kedewasaan demokrasi harus dibawa pada jalurnya yang ideal dan waktu yang akan mengujinya. Sehingga untuk meminimalisir konflik dibutuhkan tools yang konkrit ketimbang mengubah masa jabatan," ungkapnya.

Di sisi lain, bila harus merevisi masa jabatan maka revisi harus sesuai dengan masa jabatan pemerintahan demokratis pada umumnya, yaitu 5 tahun maksimal dua periode.

Bukan 9 tahun dua periode, kemudian revisi tidak dilakukan mendadak menjelang tahun politik, dan harus memperlihatkan naskah akademik yang dapat diterima akal.

Dikatakannya, persoalan yang dihadapi desa dewasa ini bukan pada kebutuhan atas revisi UU melainkan pada tantangan dan hambatan dalam pelaksanaannya. 

Desa mengalami tantangan dari berbagai kepentingan supra desa yang mencoba mengintervensi dan mengkooptasi desa melalui regulasi turunan, “titipan” proyek-proyek dan eksploitasi sumber daya alam. 

Kepentingan-kepentingan ini muncul dari berbagai pihak seperti kementerian, pemerintah daerah, partai politik, korporasi dan sebagainya. 

BACA JUGA: Opini KORNAS: Revisi UU Desa, Siapa Cari Muka?

Dalam hal regulasi turunan dimaksud adalah bahwa ada banyak regulasi turunan dari supra desa yang hendak menguasai desa, seperti dari Pemerintah melalui Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan dan terbaru juga melalui UU Cipta Kerja.

JAMSU kata Yuni, menilai bahwa revisi UU Desa tidak mendesak dilakukan sekarang. Adapun hal yang mendesak dilakukan adalah mengimplementasikan UU Desa dengan menghentikan kooptasi supra desa terhadap desa.

"DPR RI dan pemerintah supaya membatalkan pembahasan revisi UU Desa karena revisi UU Desa pada dasarnya tidak mendesak dan cenderung politis menjelang Pemilu 2024," katanya.

Alasan dari sikap ini adalah kemunculan isu revisi masa jabatan meningkat 6 bulan terakhir melalui demonstrasi yang dilakukan sekelompok kepala desa di Jakarta, revisi perpanjangan masa jabatan kepala desa sangat tidak relevan dengan demokrasi. 

Materi perubahan yang diusulkan dalam revisi sangat teknokratis dan birokratis yang pada dasarnya justru berpotensi mencederai semangat kemandirian dan partisipasi yang diusung oleh undang-undang tersebut.

Mendesak pemerintah melakukan koreksi terhadap tumpang tindih peraturan turunan UU Desa dan tumpang tindih kewenangan yang menghambat substansi dan tujuan UU desa.

JAMSU melihat penyebab disharmoni desa adalah tumpang tindih regulasi yang dibuat oleh lembaga-lembaga tersebut yang pada dasarnya bertentangan dengan undang-undang desa sebagai lex specialis pengaturan desa dan menyebabkan ruang gerak desa menuju mandiri semakin sempit. []

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya